Jurnal #79_ Sisi Lain

Ada salah seorang temanku yang terang-terangan mengatakan bahwa sampai saat ini dia belum tertib dalam sholatnya. Dia, suatu kali pernah berkata bahwa, kemarin malam aku nggak sholat isya. Lalu, tadi pagi aku subuh jam setengah tujuh pagi. 


Aku, jujur tak enak hati mau menanggapi. Akhirnya, aku hanya tersenyum sembari mendoakan, semoga sahabatku ini segera engkau berikan jalan yang terbaik. Itu adalah salah satu cara terbaik, untuk menghindari pertikaian.


Jika misalnya aku akan menjawabnya dengan perkataan, "Loh, memang sholatmu diterima pas shubuh itu? Loh, memang itu tidak berdosa meninggalkan sholat?" Tentu dia pun tak enak hati, bingung menjawab, atau malah diluar dugaanku, dia berseloroh.


Bukankah yang mengetahui diterima atau tidaknya amalan kita hanyalah Dia? Bukan kita? Bukankah yang berhak menentukan yang berdosa atau tidak hanyalah Dia? Bukan kita? Memang ya, kita ini suka melabeli orang lain seenak jidat. Bilang dia pendosa, munafik, sombong, mesum, dan apalah itu. Padahal, kita sendiri lupa gelagat buruk yang seringkali dilakoni... Ah, bukan kita kok. Tapi aku!


Dia juga pernah bilang bahwa bapaknya sering menangis, jika dia tidak pernah sholat, atau sesekali meninggalkan sholat. "Bahkan, mengaji Iqro' pun aku masih terbata-bata." Katanya.


Aku yang mendengarnya tak sanggup berkata-kata. Ya, yang kubisa hanyalah mendoakannya. Tidak mungkin, aku memaksa dirinya untuk Wajib melaksanakan shalat. Padahal, sholat saja aku masih lalai -tidak tepat waktu. Atau, tidak mungkin juga aku memukulinya, menyerocos terus sampai mulutku ini ngilu. 


Semua itu, perlu waktu, proses, dan kedalaman hati yang jernih. Tak ujug-ujug "harus". Jika waktu sholat tiba, sebisa mungkin kuajak dia sholat. Tapi, terkadang dia masih enggan. Toh, ada waktunya dia menjemput hidayahnya sendiri. Kita pun, juga sebisa mungkin tidak berhenti untuk mendoakannya pula. Siapa yang tahu, saat itu Tuhan membukakan pintu hidayah untuknya? Dan untuk kita juga? :)


0 komentar