Namun adakalanya perpisahan tak melulu tentang berpisah
Kita toh tetap bisa berkeluh kesah
Bukan berarti berhenti melangkah
Membagikan segala macam kisah
Sudah yaa, aku mau berbenah
Cukup sekian saja, semoga berfaedah
Hahahah
Kalau kubilang aku tidak akan bertemu denganmu lagi, itu artinya aku hanya mengarang. Nyatanya aku bisa saja bertemu denganmu secara tidak langsung dan tidak sengaja. Melalui mimpi misalnya, atau berpapasan di jalan.
Seperti halnya perpisahan ini. Ah, bukan, maksudku perayaan kerja keras kita. Aku tidak sanggup menyebutnya perpisahan lagi. Bagiku, tidak ada kata berpisah dalam dunia ini. Apa mungkin, hanya karena kita yang tidak pernah bertemu dan berkomunikasi sudah dianggap berpisah? Tidak kan?
Selama kita masih hidup, itu tandanya masih ada beribu kesempatan untuk bertemu lagi denganmu. Kita tidak pernah berpisah, hanya saja sedang memberi jarak untuk tidak bertemu. Itu saja. Aku tak ingin menyebutnya berpisah lagi.
Kita masih bisa saling mendoakan. Semoga lancar segala perihalmu di dunia dan di akhirat. Sejahtera dan diberkahi sisa umurmu. Dan apapun yang terbaik untukmu.
Aku sungguh merasa sangat berat hati. Hari ini aku akan mengambil jarak yang cukup lama untuk tidak bertemu denganmu. Bahkan, kalau boleh dibilang. Aku akan jarang bertemu denganmu. Namun, apa daya aku tidak bisa memaksakan waktu yang terus menerus berputar.
Kita makan bersama-sama. Menghabiskan makanan dengan lahapnya, bersenda gurau, dan larut dalam kebahagiaan. Tapi, aku merasa tanggung jawabku untukmu ini tidaklah seberapa. Aku belum melakukan begitu banyak hal untukmu. Namun waktu masih saja berkata padaku, inilah saatnya kamu harus menyudahinya.
Kamu, dengan baik hati, dengan segala kerendahan hatimu membuatku sangat terharu. Kenapa kamu begitu baik selama ini? Aku, yang selalu memandang dirimu negatif. Aku, yang selalu mengabaikan perasaanmu, dan aku adalah orang yang seringkali menganggap bahwa segala hal yang kecil dan remeh temeh itu tidaklah penting.
Maaf ya, aku masih belum banyak dewasa dari berbagai pandang. Aku masih egois kalau boleh kubilang, aku masih naif. Nafsuku masih membara. Masih menginginkan segala macam duniawi.
Jasamu padaku sungguh tak terbalaskan. Segala macam ilmu yang kau tampung dalam lautan samuderamu tidak akan pernah cukup kutuangkan dalam kalimat-kalimat ini.
Maaf, aku hanya bisa terus menerus merepotkan dirimu. Teruslah menjadi sahabat sejatiku. Perpustakaan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dan seluruh tim. Jika kau butuh bantuan, aku tak segan-segan menolong, bukan karena paksaan kawan-kawan untuk menjadi relawan. Jauh di dasar lubuk hatiku pun, aku akan berada di sampingmu, jika Dia merestuiku. Dibalik raut wajahku yang kusembunyikan ini, aku berpura-pura bahagia. Namun, aku sungguh tak tega. Membiarkan dirimu dan diriku tidak bertemu dalam jangka waktu yang cukup lama. Kamu, melangkah sendiri. Aku pun melangkah pergi. Sungguh, teramat perih, tak bisa membiarkan diri ini menetap jauh lebih lama.
Nanti ke sini lagi kan?
Nggak e, langsung pulang
Ah, padahal aku ingin main barang satu dua jam lagi
#dialogmini
#pergolakan
#merasa tidak sebanding dengan yang diberikan
#dan tidak pantas
#kok jadi mirip prosa?
#bukan, kok malah jadi kaya orang patah hati? Wkwk
Kalau aku boleh pilih. Aku ingin cepat pulih. Tapi aku tak perlu menampakkan rasa sedih. Toh semua terjalin agar aku pandai berterima kasih.
Aku tidak menyalahkan siapa-siapa. Dalam kehidupanku, aku lah seluruhnya yang bertanggung jawab. Aku berbuat seperti ini maka aku akan mendapatkan hasilnya.
Tempo lalu aku sedang berusaha mengejar waktu. Maklum, waktu itu jam masuk kuliahku sangat pagi. Aku menaiki anak tangga. Dari anak tangga yang pertama lalu kedua, kedua lalu ketiga, dan seterusnya. Biasanya jika aku tidak terburu-buru aku sering sekali menghitung jumlah anak tangga itu sambil bersenandung.
Namun kini aku berpacu dengan waktu sehingga masalah menghitung anak tangga saja kuabaikan. Sebenarnya, lebih tepatnya tidak penting sih bagi kebanyakan orang. Tapi, aku menikmatinya. Apakah salah?
Baru setengah menaiki anak tangganya, aku hampir saja terjatuh karena pendaratan kakiku yang tidak sempurna dalam menapakkan kaki. Lalu aku kembali melanjutkannya dengan santai, lalu aku terjatuh lagi. Kini benar-benar terjatuh. Namun, untungnya tanganku masih berpegagan pada handrails.
Sayangnya, aku tertangkap basah oleh dua orang pemuda di belakangku yang mengetahui diriku terjelungup dalam anak tangga. Untungnya, mereka masih berada di lantai dasar dan belum sempat menaiki anak tangga yang pertama. Untungnya juga aku tidak sempat mencium anak tangga itu.
Kedua pemuda tadi hanya berbisik-bisik. Mungkin sedang menerka, apakah sakit ya? Tentu aku hanya bisa tersenyum getir. Bahkan kalau bisa mereka nggak usah mendekat. Aku malah sungkan kalau-kalau mereka menolongku. "Aku nggak papa kok Mas. Biar aku sendiri saja. Aku sudah terbiasa sendiri. Jangan memedulikanku." Akhirnya aku kembali menuju kelas dengan langkah tegap tanpa mengingat kejadian tadi.
Tapi, beberapa waktu kemudian. Naas, aku kembali terjatuh lagi. Kini lebih miris. Aku terjatuh saat menuruni anak tangga. Hidup itu memang seimbang ya. Kita yang berada di atas memang sengaja dijatuhkan untuk diuji seberapa kuat mental kita. Apalagi kita yang masih berada di bawah, lebih diuji lagi kesabarannya.
Ah, kali ini aku sedikit memandang getir. Kenapa juga, harus aku yang jatuh pas naik tangga dan juga pas turun tangga. Kan kayak anak baru belajar berjalan saja? Gumamku.
Waktu itu, aku sedang berusaha mengejar waktu juga. Maklum dengan kondisi yang kacau balau sehabis menuntaskan tugas secepat mungkin aku menuruni anak tangga. Sayangnya kali ini tidak ada handrailnya. Malang benar kali ini.
Aku tidak menyangka bahwa ternyata aku belum menapakkan kaki dengan sempurna di anak tangga yang akan kuturuni itu. Alhasil, tubuh ini limbung menuju lantai dasar. Untungnya aku tidak terlalu banyak menggulung-gulungkan tubuhku di beberapa anak tangga tersebut.
Aku pun tertangkap basah oleh seorang laki-laki yang tengah duduk di lantai dasar dan juga seorang perempuan yang sedang asyik mengerjakan tugas di depan laptopnya. Refleks, mereka memandangku.
Beberapa detik kemudian aku kembali bangkit, namun sadar tak bisa bangkit aku pun memaksa kedua kakiku untuk tetap berdiri lalu menghampiri mereka. Namun, sebelumnya mereka menyergahku dengan berkata "sakit mba?" Aku pun hanya tersenyum menahan perih.
Aku pun langsung duduk di samping mereka. Laki-laki tadi tidak lama kemudian pergi meninggalkan kami. Lalu tinggal lah aku seorang bersama perempuan muda di sampingku.
Gimana mbak? Masih sakit? Tanyanya.
Aku diam.
Coba di regangkan saja mbak.
Aku diam.
Perempuan itu kembali melanjutkan tugasnya.
Beberapa detik kemudian, perutku terasa panas lalu menjalar ke seluruh tubuhku. Hingga puncaknya kepalaku yang diserang. Aku menekuk kedua kakiku yang sakit tadi lalu menenggelamkan kepalaku di dalamnya. Tubuhku mendadak dingin. Aku kemudian mengambil air putih di dalam tasku lalu menenggaknya sambil berharap semoga cepat berakhir.
Beberapa detik kemudian, tubuhku malah panas dingin. Lalu semakin menjadi-jadi. Sedangkan perempuan tadi tidak tahu bahwa otakku sangat remuk redam. Akhirnya aku membaringkan punggungku di lantai. Barulah perempuan tadi mendekat lagi seraya berkata Mbak, gimana sekarang keadaannya?
Aku pun diam.
Mbak. Kok tiduran di sini? Kakinya masih pegel?
Aku malas menjawab. Dia malah bertanya terus.
Mbak? Tanyanya lagi.
Pusing mbak kepalaku.
Loh, bukannya kakinya yang sakit kok malah sampai otak?
Aku diam.
Mbak, tak antar ke poli klinik saja po?
Aku diam. Badanku semakin menjadi-jadi. Tubuhku semakin kaku dan dingin. Hampir seperti orang mati waktu itu. Seolah-olah aku sedang melewati sakaratul maut. Tapi aku bahkan tidak berkeberatan jika aku mati waktu itu. Karena waktu itu pas malam jumat.
Mbak?
Aku masih bergeming. Seketika aku teringat orang-orang yang kukasihi. Dan aku lupa, apakah waktu itu aku sempat mengucap tahlil? Entahlah. Yang jelas, aku pernah mengingat dalam sebuah kitab bahwa ketika kita hendak mati maka bisa jadi kita akan mengingat orang-orang yang pernah bernaung maupun membekas dalam hidup kita.
Mbak? Tak antar ke poli yuk?
Aku masih diam.
Nggak usah mbak. Nanti sembuh sendiri.
Mbak, tadi naik apa?
Ah, aku gemas dengan mbak ini tanya terus. Mungkin ini salah satu bentuk agar aku tidak jatuh dalam tidur panjang ya? Hmm.
Motor mbak. Jawabku singkat.
Lalu dia bertanya dan bertanya lagi.
Dan aku menjawabnya lagi. Sesingkat mungkin.
Hingga akhirnya aku tersadar. Dalam dimensi waktu tersebut aku kembali siuman. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Tapi, sehari kemudian badanku terasa remuk redam. Seolah-olah membalas apa yang telah kuperbuat di masa-masa kelam.
Jangan terlalu keras bekerja
Aku takut nanti engkau jatuh sakit
Tapi sayang, engkau memang keras kepala
Lalu kubilang, jangan lupa olahraga
Sekarang orang makin malas olahraga
Terlena dengan berbagai macam tuntutan
Aku tidak mau engkau sakit, Bapak
Aku ingat, kapan terakhir kali
Kita menghabiskan waktu olahraga bersama
Lalu aku bilang, aku takut akan kematian, Bapak
Lalu engkau menjawab, mengapa?
Kita nanti akan bertemu dengan Sang Kekasih kenapa harus takut?
Aku takut Bapak,
Di sana, kita nanti tidur sendirian
Disergap oleh ikatan tali temali
Dari atas hingga bawah
Tanpa alas yang empuk
Seluruhnya berdebu dan kotor
Serta menyatu dengan tanah
Belum lagi, aku takut tidak bisa menjawab semua pertanyaan mereka
Ketakutanmu itu yang akan membunuhmu, Nak jawabmu
Kenapa engkau harus gelisah?
Jika engkau yakin bahwa dia memang Kekasihmu
Tentu dia akan senantiasa melindungimu
Yakinlah akan dia nak,
Tapi pak,
Mari serta merta
Menjaga kesehatan
Bersama-sama
Aku pun terbangun di sepertiga malam
Sepertinya bapak rindu padaku
Atau Kekasihku rindu padaku?
Atau, ini waktunya?
Atau, dia hanya ingin mengingatkanku?
Entahlah, waktunya aku bergegas
Sebentar lagi akan terbit fajar
Aku harus melakukan ini itu
Menjemput senyum
Untuk Bapak di sana
#ini puisi ya
#ceritanya mau dibikin cerpen tapi gajadi wkwk
#kapan_terakhir_kali_kalian_olahjiwa_dan_olahraga_bersama_keluarga?
Aku memiliki pengalaman unik sekaligus religius kalau boleh dibilang, saat pertama kali ditugasi mengolah perpustakaan di Yogyakarta, yaitu perpustakaan EAN. Apa yang membuat unik dan religius? Begini ceritanya.
Awalnya, kami mahasiswa ilmu perpustakaan ditugasi mengolah perpustakaan yang benar-benar membutuhkan di sekitar Yogyakarta. Tugas kami adalah membantu mengelola perpustakaan mereka.
Waktu itu, ada beberapa tempat yang disarankan oleh dosen kami. Nah, diantara tempat-tempat tersebut perpustakaan EAN masuk di dalamnya. Akan tetapi, yang mendapatkan tugas mengelola perpustakaan EAN tersebut ternyata diacak alias diundi.
Waktu itu, beberapa anggota dalam timku sempat tidak begitu berminat terhadap Perpustakaan EAN. Tahu sendirian? EAN itu siapa, EAN itu Emha Ainun Nadjib. Di benak mereka, pasti amatlah sulit mengelola perpustakaan tersebut karena masuk ke dalam rekomendasi dosen kami. Beberapa diantaranya berdoa, agar kelompok kami tidak kebagian tugas mengelola di perpustakaan EAN.
Padahal, aku sudah memiliki firasat bahwa nanti kelompokku ini akan dibawa ke perpustakaan EAN. Kenapa? Entah, seperti ada yang membisikku seperti itu. Hhh. Nah, ternyata benar. Kelompok kami benar-benar mengelola di perpustakaan EAN. Betapa senangnya aku waktu itu. Tapi, tak ada seorangpun yang mengetahui kebahagiaanku waktu itu. Cukup aku dan Dia saja yang mengetahui. Hhh.
Tapi, aku sangat senang kawan. Hhh. Karena, selain itu aku juga pernah memimpikan Cak Nun alias Emha Ainun Nadjib. Di dalam mimpi tersebut, aku bertatap muka dengan beliau. Seolah-olah sedang bercakap-cakap. Dua kali, aku bermimpi tentang beliau dan dengan mimpi yang sama. Di sana, aku menemukan aura yang sangat positif. Malam yang berpendaran, lalu hening dalam kekhusyukan, dan aku menikmati suasana itu, bersama beliau dan bersamaNya.
Sepanjang sejarah, aku tidak pernah memimpikan seorang artis, ustad, maupun orang terkenal lainnya. Namun, beliau ini dengan segala kerendahan hatinya dan dengan izin dariNya berkenan masuk ke dalam mimpi saya. Hhh. *speechless*
Kembali lagi ke dalam topik. Tugas kami di perpustakaan EAN pun bisa dibilang cukup santai tapi juga sedikit serius. Kalian belum tahu, tegangnya kami sewaktu berhadapan dengan pimpinan perpustakaannya, betapa bingungnya kami dengan kegiatan apa saja yang akan direncanakan, dan betapa mepet deadline yang dijadwalkan.
Namun, pihak pengelola perpustakaan EAN tersebut sangat menyambut baik kedatangan kami dalam rangka membantu mengelola perpustakaan EAN. Mereka sangat terbuka dengan kami, dan berharap bisa saling belajar dan bekerjasama.
Dalam waktu kurang lebih satu setengah bulan, kami mengelola perpustakaan tersebut. Mulai dari ngelap buku-buku, reshelving, mengadakan pelatihan penulisan, lalu mengadakan berbagai lomba diantaranya lomba resensi buku Cak Nun, lomba mewarnai, dan menggambar.
Bonus yang tak pernah terduga dari kami adalah, pihak perpustakaan EAN sesekali menyiapkan konsumsi untuk kami. Baik berupa cemilan, minuman dari Syini Coffee, maupun makan siang. Ah, aku lupa! Kami juga diberikan majalah Cak Nun dan juga kumpulan syair milik vokalis Letto yang sekaligus sebagai anaknya Cak Nun.
Teman-teman kami yang berasal dari kelompok lain pun tak kalah tertarik untuk mengelola di perpustakaan kami. Tak jarang, beberapa diantaranya ikut serta membantu kami, maupun sekadar ikut main saja. Hhh.
Yang paling tergiang dibenakku adalah kami disuruh membuat esai di pelatihan menulis tersebut. Kami diminta untuk membuat esai tentang perpustakaan EAN. Dan masing-masing dari kami memiliki harus mencari keunikan yang ada di balik perpustakaan EAN tersebut. Dan sayangnya, kenapa saya memilih tema tentang Maiyah. Padahal, itu sulit. Saat itu, saya juga tidak tahu mengapa mau memilih tema tersebut. Ah, yang sudah terlanjur tidak perlu disesali bukan? Toh, kita bisa belajar darinya. Bahkan, sesuatu yang kita anggap sulit pun akan terasa mudah jika sudah terbiasa melakukan hal-hal sulit tersebut. Wkwk.
Aku waktu itu senang sekali, pas diadakan lomba resensi buku Cak Nun. Tapi diurungkan karena waktunya yang mendesak. Hingga akhirnya, lomba mewarnai dan menggambar lah yang masih bertahan. Hhh.
Nah, di lomba tersebut kami hanya asal menargetkan peserta sebanyak 50 anak. Palingan yang ikut cuma 20 anak. Namun, pas di hari tiga (kalau saya tidak salah) peserta sudah mencapai target. Lalu, dari pihak perpustakaan EAN sendiri menambahkannya untuk menjadi 55 anak. Karena nanggung, akhirnya kami menaikkannya sekaligus menjadi 60 orang. Namun, di hari selanjutnya peserta yang mendaftar semakin banyak. Akhirnya, kami menetapkan menjadi 70 anak. Di luar ekspektasi. Hhh.
Aku, yang tidak pernah berangkat rapat tahu tahu h min 1 disuruh bikin banner dan kelabakan. Aku juga dijadikan tumbal di sana. Aku bertugas mendesain piagam lomba, banner, stiker, dsb. Namun, aku sangat menik(mati)nya karena mati-matian revisi. Hhh. Tapi, aku sungguh menikmatinya. Wkwk.
Setelah lomba mewarnai dan menggambar tersebut usai, lantas aku kembali tergiang oleh tulisan esaiku tentang Maiyah itu. Ah, dari ke-12 temanku. Hanya aku seorang, yang tulisannya disuruh menambahkan kontennya. Aku sedikit tertohok. Kenapa juga dulu aku milih tema yang susah. Kan, akhirnya aku merevisi tulisanku 2x. Dulu pernah direvisi. Lalu, kali ini juga. Oh, Tuhan! Aku memang ditempa belajar menulis serius kalau seperti ini caranya. Aku sangat menik(mati) menulis esai ini juga. Sampai-sampai hati pun harus kukorbankan. Hhh.
Lalu, aku kembali teringat. Kami masih harus menyelesaikan misi lagi. Membuat SOP untuk perpustakaan EAN dan mencari artikel yang berhubungan dengan Cak Nun. Oh, terima kasih perpustakaan EAN. Aku banyak belajar darimu.
Satu lagi, kegiatan yang (sebenarnya) wajib kami ikuti selama ikut mengelola di sana adalah diskusi sewelasan. Yaitu setiap tanggal sebelas. Aku sebenarnya sangat suka diskusi buku, terutama yang berhubungan dengan sastra, agama, dan tematik. Tapi sayangnya acaranya pasti malam hari sampai dengan tengah hari. Padahal, aku tidak pernah kuat untuk melek sampai malam, apalagi pagi buta! Hhh.
Ah, maaf ya. Mungkin aku terlalu berpanjang lebar. Tapi intinya, aku sangat senang. Bisa belajar dari perpustakaan EAN, belajar Maiyah, dan masih banyak lagi. Semoga saja, apa yang kami lakukan untuk mereka juga ikut memberikan kesan tersendiri meskipun itu kecil, asalkan bermanfaat. Eheeee.
Ssst. Akan ada kejutan spesial untuk kalian. Saya menjadi salah satu kontributor penulis di perpustakaan EAN lo. Nantikan buku saya selanjutnya ya! Wkwk.
Oh iya, masing-masing dari kami juga ikut menulis Blog selama kegiatan pengelolaan di perpustakaan EAN berlangsung. Kunjungi blog yang kami buat juga ya! Ehee.
http://sampeancaknun.blogspot.com/?m=1
#modal perpustakaan EAN ini berasal dari modal sosial
#ditempa
#atau dijadikan tumbal?
#kukira aku bisa mengambil benang merahnya, bahwa setiap hari aku belajar dari perjalanan
Apa reaksimu jika melihat orang kecelakaan di jalan? Refleks, pasti kamu bakal ikut terenyuh, kan? Lalu, bagaimana jika kecelakaan itu terjadi pada dirimu sendiri? Aku ingin banyak bertanya perihal kecelakaan.
Bukankah kecelakaan itu terjadi ketika ada salah seorang pihak yang tidak sengaja melakukan kesalahan? Atau, bisa juga salah seorang tersebut belum bisa mengendalikan egonya, kan?
Aku membahas ini bukan karena kenapa-napa. Hanya saja, banyak saja "kecelakaan" yang terjadi di sekeliling kita. Tahu kan, maksudku?
Atau, aku ingin membahasnya bukan karena aku sedang mengalami kecelakaan! Hey, pasti kita sering mengalami kecelakaan, bukan?
Aku membahas ini karena, ada salah seorang kawanku beberapa waktu lalu yang meninggal dunia akibat kecelakaan di jalan raya.
Aku, dalam mimpiku beberapa tahun lalu pernah bermimpi bahwa aku kelak akan mati di jalan karena kecelakaan. Mimpi tersebut terus menerus terngiang dalam otakku.
Jujur, aku ini memang tipe orang yang mudah lupa. Namun, dalam konteks ini aku tidak bisa melupakannya barang sedetikpun. Aku juga tidak dapat menafsirkan mimpiku itu benar adanya. Bukankah itu mimpi? Tapi, itu kan pertanda. Agar aku tidak terlalu banyak gaya di jalan, bukan?
Ah, yaaa. Tapi, apa yang sepatutnya kita lakukan terhadap kecelakaan-kecelakaan tersebut? Tergantung konteksnya. Seperti kisah kawanku yang satunya.
Minggu lalu, dia mendapati orang yang sedang kecelakaan di jalan raya. Persis, di hadapannya. Bruuuk! Keduanya jatuh dan gontai. Mereka sama-sama memakai kendaraan bermotor. Sedangkan orang yang berada di depan kawanku tadi menjadi korbannya. Darah yang deras mengucur dari tangan dan kakinya. Bau amis dan anyir pun mulai tercium. Beruntung, temanku tadi tidak kenapa-napa. Tapi sayang, dia berkata padaku tidak dapat berbuat banyak karena takut darah.
Hal pertama yang dilakukannya adalah membuka resleting di tasnya lalu memunculkan telepon pintarnya. Kemudian dia memfoto kondisi sang korban, pelaku, beserta motor mereka. Dia mengeluh kepadaku, "Tadi ada orang menyeletuk kepadaku. Begini bilangnya."
"Bukannya ditolong, malah keluarin hp sih, Mbak!"
Temanku itu pun ingin mengumpat rasanya. Namun berusaha menahannya untuk tidak mengumbar emosinya. (salut saya, hhh)
Lalu, dia bilang kepadaku seperti ini, "Eh, ya gimana ya. Aku mau nolong tapi takut sama darah. Lihat darah aja udah lemes. Sebagai bentuk menolong, akhirnya aku pun memutuskan untuk memfoto kondisi mereka beserta sepeda motornya. Siapa tahu, nanti bisa dijadikan bukti. Atau, aku posting di Info Cegatan Jogja biar orang lebih berhati-hati saat di jalan. Kan, niat aku bagus ya? Kenapa, orang lain itu nganggep negthink saat mereka nggak tahu apa-apa. Memang siapa mereka? Berani-beraninya menilai orang lain. Padahal mereka saja belum benar menilai dirinya sendiri!"
"Hey,hey. Hey, tayo! Ehee. Tenang. Kamu sadar nggak, yang kamu ceritain barusan itu juga termasuk negthink lo. Kamu bilang mereka nggak berhak menilai kamu. Padahal, kamu kan bisa saja berpikir positif. Oh, mungkin orang itu sedang panik. Makanya menegurku seperti itu. Aku tahu, kamu sedikit emosi. Selama aku yang menjadi telinga bagimu, itu nggak masalah kok. Ion negatifmu bakal kuubah jadi sangobion. Wkwk."
"Lucu! Nah mulai lagi, kan?"
"Hhh. Aku juga selalu bilang ke diriku sendiri bahwa. Oh, ternyata yang kupandang negatif itu tidak selamanya negatif. Contohnya kamu. Kamu malah foto korban tadi. Padahal, kalau dilogika, orang seharusnya nolong ya nolong aja. Nolong berbentuk tangan. Yang bisa dilihat oleh mata orang lain! Bukan bentuk menolong yang abstrak, sama seperti yang kamu lakukan. Aku jadi ingat, suatu bacaan dalam kitab itu. Bahwa apa yang kamu anggap baik belum tentu baik bagimu. Dan juga, apa yang kamu anggap tidak baik, belum tentu tidak baik bagimu. Ah, hari ini aku belajar banyak lagi. Hhh."
"Nah, kan kumat lagi."
"Aku senang, selalu belajar dari kehidupan. Terutama, belajar dari perjalanan hidupku, baik jasmani maupun rohaniku ini sampai detik ini. Hhh."
"Ya, kamu selalu bilang. Bahwa hidup itu adalah perjalanan. Dan setiap perjalanan adalah pembelajaran. Sudah bebal kupingku ini. Hmmm."
"Hhh. Yaaa. Karena aku memang suka berkelakar santai seperti ini, wkwk.
Bekerja. Merupakan tiga suku kata yang artinya melakukan suatu pekerjaan. Tapi, dibalik tiga suku kata tersebut ada makna tersembunyi yang berbeda bagi setiap subjeknya.
Misalnya, aku telah lama sekali menekuni dunia seni. Tapi, aku mulai jengah. Ingin sesuatu yang baru. Bukan karena aku tak menyukainya lagi. Hanya saja, aku ini makhluk yang selalu ingin belajar hal-hal baru. Maka, disela-sela kesibukanku dalam bekerja aku akan berusaha menyempatkan waktu untuk menjadi pembaca sekaligus penulis.
Tapi, suatu hari aku melontarkan sebuah pertanyaan kepada salah seorang kawanku. "Aku takut, jika suatu saat nanti aku tidak pernah bisa lagi meluangkan waktu untuk membaca. Bagaimana ya?"
"Aku lebih takut lagi, kalau-kalau aku tidak bisa mendapatkan pekerjaan."
"Loh, kenapa seperti itu?"
"Kamu itu mending ya. Punya kompetensi. Nah aku? Apa yang bisa dibanggain? Nulis aja nggak masuk-masuk media, nggambar aja jelek, nyanyi sumbang. Apa lagi masak? Bisanya cuma masak air mata!"
"Duh, kok kamu malah ngegas sambil main puisi sih? Wkwk. Siapa bilang kamu nggak punya kompetensi? Aku lihat, kamu suka membaca buku-buku berat seperti buku milik Pram. Kenapa kamu tidak mencoba membuat resensi buku yang telah kamu baca?"
"Kan aku sudah bilang. Aku tidak pandai menulis. Apalagi menulis resensi buku!"
"Kan kamu belum pernah mencobanya. Kenapa kamu bilang itu susah?"
Dia pun terdiam. Tiga detik kemudian, "sama aja!"
"Oke, kalau kamu nggak berniat nulis. Gini deh. Aku bahkan juga malah iri sama kamu. Kamu sudah melahap habis karya-karya Pramoedya Ananta Toer sejak SMP sampai sekarang. Sedangkan aku, sewaktu SMP saja masih pemalas. Tidak suka baca buku. Tidak tahu siapa Pram. Bahkan, aku tahu Pram baru sewaktu kuliah! Sekarang, aku sangat menikmati menjadi seorang pembaca. Bahkan, aku malah tidak ingin bekerja. (menjadi pengangguran yang menulis buku saja, hhh) Ingin membaca seumur hidupku. La ini, kamu malah khawatir kalau nggak bisa bekerja."
"Ya aku khawatir, karena nggak ada modal yang kuat."
"Kamu itu terlalu membanding-bandingkan dirimu dengan orang lain. Jadilah kamu tidak berenergi seperti ini. Aku pun dulu juga seperti kamu. Merasa putus asa. Tidak bisa apa-apa. Tapi, aku punya keinginan untuk belajar. Maka, aku akan meraihnya. Meskipun tidak bisa dikatakan sukSES, tapi setidaknya aku pernah berproSES. Nantinya akan dijadikan modal untuk hal-hal yang kita anggap sepele (ah, kalau masalah beginian mah aku bisa) kita share ke orang lain (istilahnya jadi mentor atau pendidik lah)."
"Iya, kamu enak ya. Bisa desain, pinter TI, bisa nulis, maen kemana-mana, jadi traveler, trus udah kaya konsultan juga."
"Gilak. Kan, kan, masih aja nyombongin aku. Kapan kamu belajar? Nggak cuma menilai orang lain aja... Hmmm."
"Ya deh, aku belajar. Tapi kalau lagi mood."
"Noh, kan. Coba deh, kamu seneng apaan. Belajar lebih dalem. Kalau ngerasa gabisa, tetep aja paksain. Bukankah sesuatu yang dipaksakan akan menjadi bisa? Bukankah bisa karena terbiasa? Kamu hanya perlu Just do it untuk menjadi duit. Wkwk"
"Ah, iya iyaaaaaa... Ntar aku coba meditasi. Udah laper ini ngobrol dari tadi. Curhat mamah dedehnya nanti lagi. Yuk lah makan."
"Dasar, hmmm."
Tuhan, aku sadar. Aku ini bukan orang baik. Bahkan, jika aku bukan pekerja yang baik. Maka, jadikanlah aku beserta orang-orang yang membaca tulisan ini menjadi pembaca yang baik. Entah membaca buku, firasat, lingkungan, maupun alam dariMu. Tolong, jangan lelah menuntun kami. Aamiin.
Pernah nggak sih, kalian lagi enak-enaknya naik motor, ngelamun bayangin sesuatu yang asyik gitu tiba-tiba ada yang maen nyelonong aja? Pasti pernah, kan?
Sebel? Pengen ngumpat? Silahkan, saya tidak melarang. Toh itu hak asasi Anda. Tapi sesuaikan dengan waktu dan tempat yang tepat ya! Hhh.
Gini, beberapa waktu lalu saya sedang asyik-asyiknya naik motor ke suatu daerah terpencil. Nah, tahu sendiri kan kalau di desa itu hawanya dibawa santai, pengen alon-alon wae, dan alhasil saya pun terbawa suasana. Motor yang saya kendarai pun melaju dengan kecepatan sangat pelan.
Di persimpangan jalan pertama saya bertemu dengan beberapa ayam. Kawanan ayam-ayam tersebut asyik sekali mengais makanan di bibir jalan. Tanpa saya sapa, mereka pun menyapa saya terlebih dahulu. Piyik, Piyik, Piyik, begitulah suara ayam-ayam yang paling kecil. Hingga saya semakin lama semakin kelebatan karena mereka malah menghampiri saya. Astaga! Mereka nyebrang tanpa permisi di hadapan saya! Untung, itu ayam ya. Bukan manusia... Hmm, hhh...
Ah, biarlah namanya saja juga ayam. Mungkin dia ingin mengingatkan saya untuk lebih berbuat sopan. Wkwk. Berlanjutlah perjalanan saya kembali. Eh, tunggu! Kalian sebelumnya pernah dihadang oleh kawanan hewan liar tidak sih di jalanan? Atau paling mentok hewan jinak di jalanan? Misalnya saja seperti saya tadi yang dicegah oleh sekawanan ayam. Mungkin, kalian ada yang lebih ekstrim gitu? Wkwk.
Di persimpangan kedua, bukan ayam yang saya lalui lagi. Namun kali ini anjing! Gila! Anjing men! Pas lagi asyik-asyiknya lihat pemandangan pedesaan ada-ada saja anjing yang hendak menyebrang di depan pandangan mata saya. Bagaimanapun saya sangat terhenyak. Pikiran saya pun melayang. Waduh, ini gimana kalau dilabrak anjing. Waduh, ntar kalau kesenggol liurnya kena najis nggak yah? Wah, gimana ini?
Akhirnya saya pelankan sepeda motor saya di titik paling rendah serta saya injak rem sekuat-kuatnya. Dia pun ikut berhenti. Mungkin dia juga merasa shock mendengar bunyi rem saya kali ya... Wkwk. Sontak saja dia langsung kembali ke asalnya. Hmmm, syukur lah kalau dia sudah kembali. (tapi, kenapa juga dia sendirian di tengah jalan? Kemana pemiliknya?)
Penat sudah hati saya berjumpa dengan beberapa kawanan binatang tadi. Saya jadi teringat, ternyata saya pernah berjumpa dengan beberapa hewan kecil lain yang setidaknya mereka ingin saya mengenal baik sosok mereka. Tapi, nyatanya hewan sekecil apapun saya malah meremehkannya. Menganggap mereka hanya mengganggu perjalanan saja. Ya nylonong sembarangan lah, ya nyebrang sembarangan lah, apapun itu!
Berikut ini daftar hewan yang pernah saya jumpai di tengah jalan sepanjang usia saya, diantaranya :
Angsa
Kucing
Sapi
Kambing
Ayam
Burung dara
Anjing
Tikus
Ular
Katak
Bebek
Samber moto (entah apa namanya dalam Bahasa Indonesia)
Serangga kecil berbentuk seperti duri (saya tidak tahu namanya)
Lalu, yang paling lunak dan jinak adalah bekicot.
Ah, yang paling terakhir ini saya suka. Saya jadi mengingat, kenapa bekicot alias siput itu menang di perlombaan pas lari melawan kancil. Itu lo, dongeng Indonesia itu. Hmmm. Si bekicot menang, karena dia tahan banting dan tekun. Mungkin, saya dipertemukan dia agar menjadi orang yang lebih tahan banting dan tekun, ya? Wkwk.
Lalu, kali ini saya akan dipertemukan dengan siapa lagi ya? Saya sih, berharapnya Anda, di pelaminan nanti.
Siapa bilang bahwa coworking space hanya dikhususkan untuk para
startup? Hey, jangan salah! Coworking space diperuntukkan bagi semua
kalangan. Baik dari kalangan freelancer, blogger, programmer, designer,
komunitas, mahasiswa, pelajar, ibu Rumah Tangga, dan juga para pebisnis bisa
menggunakan tempat ini sebagai area kerja maupun belajar mereka lo!
Coworking space ini biasanya
menyediakan akses internet, ruang rapat, maupun ruang diskusi yang dilengkapi
dengan desain interior yang menarik untuk mengerjakan project mereka.
Sehingga memacu kreativitas maupun produktivitas. Baik secara individu maupun
berkelompok. Semisal kita mau mengerjakan tugas kelompok, kerjaan, skripsian, maupun
mengadakan berbagai kegiatan, coworking space ini cocok dijadikan
referensi.
Bahkan, coworking space ini dapat digunakan untuk membangun
mood kita dalam belajar maupun bekerja. Dengan melihat orang-orang yang fokus
pada kegiatan mereka, otomatis kita juga akan terpacu karena semangat mereka
yang selalu membara untuk membangun karya secara produktif.
Selain itu, kita akan bertemu dengan orang-orang dari berbagai
profesi. Mungkin saja kita dapat membangun sebuah usaha, komunitas, relasi,
maupun kerjasama dari orang-orang tersebut. Ibarat kata, coworking space ini
merupakan sebuah “dapur umum” yang bisa diakses oleh berbagai kalangan, dan
juga tidak pandang bulu. Baik bagi penyandang difabel maupun non difabel.
Lalu, apakah setiap coworking space yang kita temui sudah
bisa diakses oleh berbagai kalangan? Termasuk para penyandang difabel? Kebanyakan
coworking space yang saya temui, jujur memang belum mengedepankan hak
asasi para penyandang difabel. Padahal, kita tahu sendiri bahwa mereka juga memiliki
kesempatan yang sama untuk belajar, membangun karya, dan juga menikmati hak-hak
mereka.
Tapi, kini para penyandang difabel tidak perlu khawatir lagi akan
keterbatasan mereka. Kenapa? Karena Dinas Komunikasi dan Informasi Daerah
Istimewa Yogyakarta sudah menyediakan coworking space yang inklusif dan
aksesibel bagi para penyandang difabilitas. Yuk, simak pembahasan berikut ini.
Diskominfo Daerah Istimewa Yogyakarta kini menyediakan sebuah ruang
kerja kosong untuk berbagai kalangan, yang disebut Diskominfo Coworking
Space (DCS) DIY. DCS ini masih berada di lingkungan kantor Diskominfo. Sehingga,
waktu pelayanannya pun juga masih terikat dengan kantor. Namun, seiring
berjalannya waktu akan diberlakukan layanan 24 jam dari atasan dan juga bisa dibuka
setiap hari. Bahkan, jika kita hendak bertanya-tanya lebih lanjut mengenai DCS,
maupun berniat melakukan booking ruangan yang tersedia, dapat diakses
melalui via telepon.
Siapa saja yang dapat
menggunakan dan memakai fasilitas di Diskominfo Coworking Space DIY?
Tentunya semua masyarakat dapat menggunakannya. Baik dari pelajar, mahasiswa,
ibu Rumah Tangga, pebisnis, freelancer, dan berbagai profesi, orang,
maupun komunitas lainnya. Kelebihannya, fasilitas DCS ini sudah aksesibel bagi
para penyandang difabel, khususnyabagi tuna netra, tuna rungu, maupun
tuna daksa.
Area parkirnya sendiri terbagi menjadi dua buah sisi. Pertama,
di sebelah pojok utara merupakan tempat parkir motor. Sedangkan yang kedua,
untuk parkir mobil berada di depan kantor Diskominfo Coworking Space itu
sendiri.
Setelah memarkirkan kendaraan, para difabel tuna daksa dapat menggunakan
ramp (tanjakan) maupun railing (pegangan tangan).
Sedangkan untuk difabel tuna netra, mereka dapat menggunakan tacktile
floor untuk mengakses pintu masuk Diskominfo Coworking Space DIY.
Bahkan, penyandang tuna netra juga dapat mengakses fasilitas toilet
secara mandiri melalui tacktile floor tersebut.
Di bagian luar, atau yang biasa disebut sebagai area outdoor,
penyandang difabel baik tuna netra maupun tuna daksa dapat menggunakan
fasilitas tersebut. Baik melalui ramp (tanjakan), railing (pegangan),
maupun tacktile floor (lantai bertekstur).
Mereka dapat menggunakan fasilitas seperti kursi dan meja yang
empuk, nyaman, dan dilengkapi dengan konsep desain yang menarik. Area ini juga cocok
dijadikan tempat berkumpulnya komunitas maupun orang-orang yang berniat membangun
sebuah kegiatan secara bersama-sama.
Selain itu, Wifi yang disediakan oleh Diskominfo Coworking Space
DIY sangatlah lancar dan cepat, meskipun kita berada di area outdoor
sekalipun.
Di bagian dalam, atau yang biasa disebut sebagai indoor, kita
akan menjumpai beberapa ruangan seperti Ruang Media Sosial, Ruang Animasi,
Ruang Rapat, dan juga Ruang Diskusi. Masing-masing ruangan ini sudah dilengkapi
dengan CCTV, AC, serta pencahayaan ruangan yang bagus.
Pertama kali kita memasuki kantor Diskominfo Coworking Space
tersebut, kita akan menjempui sebuah ruangan yang bernama Ruang Media Sosial. Sebelum
kita memasuki ruangan tersebut, kita diwajibkan melepaskan alas kaki yang
nantinya ditaruh di rak sepatu/sandal di bagian luar ruangan tersebut.
Begitu kita memasuki Ruang Media Center, kita akan menemukan sebuah
ruangan kecil bagi staf informasi. Di sana kita dapat menanyakan tentang
Diskominfo Coworking Space maupun meminta bantuan saat kesulitan bagi para
penyandang difabel.
Sebelum menggunakan
fasilitas yang ada di dalam Ruang Media Sosial ini, kita diwajibkan mengisi
buku tamu terlebih dahulu.
Di dalam Ruang Media Center ini, terdapat
fasilitas penyediaan air minum secara gratis yang diperuntukkan bagi semua
pengunjung.
Jika kita kebetulan tidak membawa
laptop, DCS menyediakan beberapa perangkat komputer yang bisa digunakan di
sana.
Sedangkan untuk
yang membawa laptop sendiri, kita dapat menggunakan meja dan kursi tersebut
sambil menikmati desain tembok di depan kita yang tentunya membuat kreativitas
semakin meningkat. Meja tersebut sudah support bagi penyandang
difabilitas tuna daksa. Sehingga mereka yang memakai kursi roda dapat
menyesuaikan posisi ternyaman mereka.
Hari ini siapa yang
tidak membutuhkan colokan? Colokan lazimnya ditemukan di setiap tempat. Di
bawah meja saja terdapat beberapa colokan yang memudahkan pengguna, sehingga para
penyandang difabel tidak perlu khawatir mencari colokan karena tidak terlalu
jauh. Tidak hanya itu, terdapat colokan panjang juga, jadi tidak perlu risau,
kalau-kalau colokannya habis.
Di dalam Ruang Animator ini terdapat komputer beserta peralatan editing
audio yang digunakan untuk membuat maupun mengedit animasi.
Di sebelah utara, kita akan mendapati lorong ruangan. Di sayap kiri merupakan ruang rapat, sedangkan di sayap kanan merupakan ruang diskusi maupun ruang kelas. Semua ruangan ini dapat diakses secara bebas dan gratis.
Ruang Kelas ini biasa disebut juga dengan Ruang Diskusi.
Didalamnya terdapat LCD proyektor untuk menampilkan hasil presentasi, papan tulis, kursi, meja, AC, dan juga CCTV. Lengkap, aman, dan juga nyaman bukan?
Tidak hanya itu. Ruang Kelas ini juga dilengkapi dengan desain tembok yang menarik sehingga kita tidak jenuh dalam belajar ataupun mengerjakan pekerjaan kita. Di ruangan ini terdapat dua buah lemari besar yang berisi beragam buku umum.
Contohnya bisa dilihat di bawah ini. Buku bacaannya ada yang berupa bahasa dan sastra.
Kita dapat membaca buku bacaan tersebut di tempat ini.
Ruang rapat ini dilengkapi dengan penerangan yang cukup dan juga AC. Desain meja dan kursi yang melingkar pun cocok dijadikan sebagai kegiatan meeting untuk pekerjaan.
Di ruangan ini juga terdapat buku bacaannya. Namun, hanya sebatas pada buku publikasi pemerintahan saja.
Di samping itu, jika kita akan keluar dari lorong tersebut, maka akan terdapat rambu-rambu peringatan yang berguna saat terjadi bahaya. Hal ini berguna untuk para penyandang difabel tuna rungu dengan melihat tanda evakuasi berikut.
Untuk lebih jelasnya, kita bisa melihat video milik Teras Jogja terkait Diskominfo Coworking Space DIY berikut ini.
Terakhir, Diskominfo Coworking Space DIY ini harapannya dapat digunakan semaksimal mungkin agar bermanfaat. Baik itu untuk belajar, bekerja, melakukan berbagai kegiatan, maupun membangun karya. Tidak terbatas pada orang, profesi, maupun pekerjaaan. Termasuk para penyandang difabilitas. Mari berbagi ruang coworking space bersama berbagai kalangan melalui Diskominfo Coworking Space DIY. Gratis lo!
Terima kasih telah membaca tulisan saya. Semoga bermanfaat ya!
Yogyakarta, September 2018
“Tulisan ini diikutsertakan dalam kompetisi Pagelaran TIK yang
diselenggarakan oleh Dinas Komunikasi dan Informatika DIY”.