Apa kabar Lombok?
Maaf, Aku belum bisa menengok
Aku baru bisa melihatmu
Lewat TV tabung ini
Orang-orang berhamburan
Hilir mudik mencari pegangan
Dan berlindung dari reruntuhan
Yang telah menelan korban
Ada yang berlari-lari
Menyelamatkan diri sendiri
Menghadapi jalan berkelok-kelok
Dari hantaman tembok-tembok
Di sini, cuaca sangat dingin
Kuharap, semua duka berakhir secepat mungkin
Hingga Aku bisa melihat indahnya Lombok
Kembali cerah di hari esok
#seribupuisiuntuklombok
Hening, Aku tak mampu mendengar suaramu itu
Bergetar hatiku saat jarimu berkata “Aku Menaruh Cinta Padamu”
“Maukah Kau hidup bersamaku?”
Kelu lidahku untuk menjawab pertanyaanmu
Aku bertanya, “Kenapa Kau memilihku?”
“Kau tahu kan, banyak orang terpaku hanya pada parasku?”
Begitu mereka tahu Aku bisu
Buru-buru mereka berlalu
Jangan memilihku jika cintamu sebatas kedipan di awal
Jangan buru-buru, Aku tak ingin kau menyesal
Begitu pula orangtuamu, bicarakan baik-baik
Karena Aku ini banyak kekurangan
Saat itu Kau bilang padaku
“Bukankah hakikat cinta sejati itu tidak memiliki alasan mencintai?”
“Orang tuaku bilang, jangan hanya memberi harapan”
“Kini, Aku akan menjaga serta mencintaimu hingga di akhir kedipan”
Tembok bergetar
Suara dentuman menggelegar
Mata berbinar-binar
Semua mulai berlarian keluar
Senyap, kurasa perang mulai mereda
Aku kembali menulis dan membaca
Sahabatku, Apa kabarmu di sana?
Aku masih belajar merangkai kata
Di sini Kami masih belajar
Berdoa dan terus berikhtiar
Meskipun berada di tempat rawan
Tapi Kami berusaha menggapai masa depan
Sahabat, Jangan lelah meraih impianmu
Jangan lupa selalu bersyukur dan terus menuntut ilmu
Aku di sini bertaruh dengan nyawa, pasrah akan semuanya
Jika Kau selesai membaca surat ini, maka Aku telah berpulang di sisiNya
Ya, Aku telah membaca tulisan terakhirmu itu
Kini, Aku pun juga bertaruh dengan masa depanku
Meski waktu telah berlalu, Kau tetap jadi inspirasiku
Semoga Kau bahagia selalu, Sahabatku
Sungguh malang, tiap hari terjadi perang
Jiwa-jiwa pun ikut melayang
Kini Aku semakin banyak menulis di ruang gelap
Meski sadar, sebentar lagi akan tertangkap
Sayang, kali ini Aku harus menurunkan pena
Seketika peluru itu melesat dan lepaslah segalanya
Aku tersungkur di atas sajadah berlumuran darah
Namun Aku telah berdamai dengan jiwa ini
Dan harus yakin bahwa buku milikNya
Dapat membaca mana yang benar dan salah
Dengan menerima semuanya dengan lapang
Maka, kepahitan akan berbuah manis nantinya
Penat sudah penantianku pada Desember ini
Bekerja menghabiskan fajar hingga petang
Hendak pulang, namun hujan menghadang
Kantor sepi ruangan pun bersorak girang
Engkau datang, hatiku gelisah
Bagaimana tidak? Wajahmu bermandikan air wudhu
Sedangkan tembok saling bertatap muka
Melihat kami berdua
Degup jantung berlarian
Nafas memburu
Melihat lafaz membasahi bibirnya
Duh Gusti, setan menggodaku
Hujan mulai reda
Saat pikiran ini melayang akan memulainya
Sayang atau syukur sebenarnya?
Entah, yang jelas Aku terhenti setelah mendengar sayup-sayup
Bangun Le! Nduk!
Oh, ternyata mimpi
Aku pikir, tadi baru saja semadi
Semoga saja tak pernah terjadi
Padahal Emak selalu bilang
Selepas sembahyang jangan tidur
Apalagi petang, tahu-tahu senja mulai menyergapmu
Sedangkan malam meminta kesaksian
Ringan benar pesan Emak
Namun berat untuk dilaju
Padahal kita ini berpacu waktu
Dan bisa-bisanya melalaikan keduanya
Hari ini Kamu buat list daftar pinjaman buku
Dari judul A-Z Kamu pinjam secara teratur
Tapi sayang, kalau balikin nglantur
Apa perlu pakai nota faktur?
Padahal tahu sendiri, katanya ‘temen’
Tapi sebulan ga balik-balik
Kamu tahu kan? Itu buku !
Bukan Bang Toyib !
Pas udah bosen ditagih lalu dibalikin
Dengan ‘sangat sopan’nya Kamu bilang,
‘Kamu ga marah kan bukunya telat Aku balikin?’
Kata pertama bukan maaf yang kau ucap
Tapi, Ah entah Aku tercengang dengan ucapanmu itu
Padahal saat itu kita sudah menjatuhkan tempo
Dengan tempo yang sesingkat-singkatnya*
(*Cuplikan naskah teks pidato Soekarno-Hatta)