JURNAL #103_ DETEKTIF DADAKAN


Waktu itu, aku akan jajan ke kantin fakultasku bersama seorang temanku. Kebiasaan jajan ini sudah lama kuterapkan saat kecil. Tapi parahnya, kebiasaan ini semakin melunjak saat aku menempuh sekolah tinggi. Saat akan menuruni anak tangga dari lantai dua ke lantai pertama, kami mendengar suara kucing mengeong lumayan keras. Tapi, waktu itu yang lewat hanya aku dan temanku itu. Nggak ada yang lain.
Keknya ada suara kucing, tuh?

Iya deh, keknya. Tapi di mana ya?

Di dalam situ kah? (Aku menunjuk lubang sempit yang lumayan curam dan dalamnya seukuran sumur rumah nenekku. Paling-paling 2.5 sampai 3 meteran, lah.)

Ah, masa kucing bisa masuk situ?

La mau di mana lagi? Suaranya aja jelas banget gitu di lantai ini. Di lubang ini, pula! Cek aja yuk, untungnya aku bawa hp nih! Sini, biar kusenteri


Dia pun ngikut aja. Pasrah. Untungnya, waktu itu nggak banyak orang yang lewat di sana. Ada sih, tapi cuma sekelebat dan beberapa.

Iya, betul ada kucing! Kecil banget!

Sana, kamu masuk. Mumpung gak ada banyak orang yang lewat. Kasian tuh kucing di sana sendirian. Kalau aku nggak mungkin bisa masuk ke situ. Badanku pendek. Kamu kan lumayan tinggi.

Emang ku bisa?

Bisa, kasian tuh ngeong terus.

Tapi ini kita ada mata kuliah lo!

Kamu tega ninggalin si kucing sendirian? Padahal jelas-jelas kita tau dia butuh bantuan? Apa kita nggak jahat? Sih?

Kamu gak tau. Di bawah tuh sempit. Gelap. Banyak sampah kertas. Dan kucing kecilnya itu semakin sembunyi. Pasti lama nyarinya. Lagi pula kita ada kuliah juga abis ini.

Halah, bentar doang. Kamu pasti bisa daah. Kudoain lewat sini. Sanaa turun.

Hm, iya daah.

Akhirnya dia pun turun. Mencari anak kucing yang mengeong tiada henti. Celananya kotor, terkena semak-semak sampah yang berdebu. Aku di atas cuma memberikan cahaya penerangan dan sebatas doa saja.

Di bawah dia teriak-teriak. Aku tu geli sama kucing kecil kek gini. Manalagi dia nggak mau ditangkap lagi. Malah semakin takut dan terpojokkan. Seolah-olah aku mau bunuh dia.

Ya kamu pancing dia biar mau naik ke atas.

Tinggi banget woy. Dia gak bakal sampai.

Bisa.

Akhirnya dia pun memancing si kucing biar ke atas. Dan akhirnya si kucing pun mulai menampakkan kepalanya. Kukunya mencengkeram tembok yang ada sebagai pijakannya. Dia hampir berhasil ke luar. Sedikit lagi seluruh badannya hampir keluar. Dia sedang berusaha menggerakkan tubuhnya untuk keluar.

Aaaaahhh sayaaang. Tinggal dikit lagi diaa berhaasillll. Akhirnya dia jatuh lagi.

Coy, si kucing kenapa turun lagi? Nggak kamu pegangin?

Gak bisa woy. Dia penakut tapi agresif.

Apa dia juga takut karena di atas ada aku ya? Yawda kamu naik aja.

Padahal tinggal dikit lagi dia bisa keluar lo.

Iya, aku tahu. Apa kita ngomong ke OB aja yak biar diambilin pakai tangga atau tongkat gitu?

Mana OB nya aja nggak kelihatan?

Nanti aja. Habis selesai kuliah. Gimana?

Ih, tapi bener ya diambil lagi. Eh, tapi kasian kita kuliah lama lo.

Gak papa. Nanti bisa wes.

Ok lah.

(Setelah kami selesai mengikuti perkuliahan, akhirnya kami kembali menjadi detektif kembali. Mencari-cari keberadaan si kucing.)

Kamu dengar suara kucingnya nggak?

Nggak. Mungkin dia lagi tidur. Atau lapar karena mengeong terus-menerus.

Akhirnya kami manggil-manggil dia. Meoong... Meoong... Puuus... Puuus...
(Kok nggak ada respon sih?)

Coba cari batu deh. Nanti ada pergerakan nggak.

Tapi tetep aja. Nggak ada apa-apa.

Jangan-jangan si kucing udah wassalam!

Coba senterin yang bener.

Udah. Emang gak ada.

Mungkin udah diambil sama OB?

Iya mungkin. Sekarang sudah hampir senja. Ayo kita pulang saja. Semoga kucingnya benar-benar sudah dikeluarkan. Besok kita cek lagi. Atau tanya pada OB.

Ok lah. Semoga baik-baik saja.

#ini kisah dua perempuan yang bimbang mengambil kucing 
#tapi sayang, misi kami belum sepenuhnya selesai
#mon maap gak jelas, tapi senang bisa nyari-nyari anak kucing. Dah, gitu aja. HHH!


0 komentar