JURNAL #64_ MENGUMPAT DAN MARAH LAH SEMAU ANDA

“Widih, sembarangan ini orang naik motornya. Emang, yang mau cepat sampai tujuan cuma situ doang apa?!” Lalu, ujung-ujungnya kita kebawa emosi dan ditularkan ke orang lain –teman sendiri- misalnya. Secara nggak sadar, ternyata kita malah mengumpat kepadanya, ya nggak sih? Jujur, sebenarnya saya nggak masalah sih kalau ada yang mengumpat ke arah saya. –TAPI- Tolong ya, kalau mengumpat sesuaikan dengan lokasi dan waktu yang tepat. Eh, Haha!

Saya juga nggak masalah. Jika ada orang yang kebetulan melampiaskan rasa marahnya sama saya. Toh, memang rasa kesal, marah, dan juga -ngampet- ngumpat adalah hak setiap warga negara.

“Hey, kau pikir ini isi dari sebuah pembukaan dasar negara?!”
“Oh, maaf. Mari lanjut ke topik.”

Sebagai pendengar -yang baik-, sebisa mungkin kita menerima dan menampung amarah, umpatan, dan juga kekesalan dari narasumber -alias si pencurhat- tadi bukan? Ya, kalau bisa sih juga memberikan dorongan atau masukan. Tapi, kok ya susah gitu ya, membuat orang menjadi -sedikit- lebih baikan melalui lisan kita. Lebih mantap kalau baca tulisan. Iya nggak sih? Haha!

“Nggak juga sih, tiap orang beda-beda.”
“Mungkin juga ya? Tapi kan, orang butuh waktu untuk meredam luka, maka dari itu mereka sering baca tulisan, quotes, atau kata-kata motivasi sebagai bentuk “kehidupan awal” dari mereka. Dibanding melalui lisan, kita sering lupa. Menurutku lo."
“Terserah!”
“Ya elah, marah gitu doang?”
“Hmm”
 -__-
            …Hhh…

Selepas maghrib kemarin, saya melanjutkan perjalanan pulang menuju ke rumah. Tapi, di tengah perjalanan ternyata saya disalip oleh beberapa anak muda, yang kemungkin besar seumuran dengan saya.

Padahal, saya tidak begitu lambat dan juga tidak terlalu cepat dalam berkendara. Cuma dasarnya saja mereka ingin kebut-kebutan. Tau sendiri lah, anak zaman sekarang serba “grusa-grusu” (padahal saya juga).  

Lampu hijau pun menyala dari kejauhan. Saya maksimalkan laju kecepatan saya dan berada di titik 70 KM/Jam. Padahal aslinya saya sendiri sudah “ketar-ketir”. Takut di sana sudah merah. Astaga! ternyata benar, lampu lalu lintasnya sudah berwarna merah. Sedangkan si penyelip tadi entah sudah berada di area mana, saya tidak tahu. Mungkin sudah “bablas” ditelan bangjo di depannya.

Begitu berhenti di lampu merah, ada dua orang anak TK yang diboncengkan bapaknya di samping saya.  Waktu itu saya cuma lihat anaknya sekilas saja. Tapi, sejurus kemudian, anak yang duduk di tengah jok motor tersebut– yang kemungkinan besar itu adalah adiknya- kemudian berteriak “La Taghdob Walakal Jannah” secara berulang kali. Sehingga mau nggak mau saya menengok lah kepadanya.

Sebentar, sepertinya saya pernah mendengar ungkapan seperti ini. Namun saya lupa dan tidak pernah menerapkannya lagi. Akhirnya beberapa detik kemudian, bukannya saya ingat, ternyata adik tersebut melafalkan artinya sendiri secara berulang-ulang juga. "Jangan Marah-Marah, Bagimu Surga." Kalimat itu kemudian terngiang dalam pikiran dan juga gendang telinga saya -sampai saat ini-.

Apalagi, pas saya tersenyum ke arahnya, dia -say good bye- lewat tangannya lagi. Kan, saya jadi kebawa perasaan? Masak anak TK aja -dadadada- sama saya. Haha! Mungkin kalau sudah besar dia bakal jadi pemuda yang bijak, ramah, dan baik. Hahaa. Mau nggak mau saya kan juga ikutan -dadadada-, bodoh amat lah, orang di samping, belakang, dan juga depan saya ngeliatin. Eh, tapi yang saya sayangkan adalah, kenapa Bapaknya nggak tahu kalau anaknya -dadadada- ke arah saya? Hmm.. Ya sudahlah, lampu sudah berganti. Saya bergegas meluncur.

Oh Tuhan, saya merasa tersentil bukan?! Begitu banyak tanda yang Kau kirimkan kepada kami -khususnya saya- tapi ternyata kami tidak peka juga! Banyak sih, orang yang bilang kaya gitu kepada kita melalui lisan. Tapi, otak kita kan nggak mungkin mengingat semua itu. Maka, sama kaya yang saya bilang tadi, mungkin kita lebih merasa “baikan” saat berdialog dan bercanda melalui tulisan. Mari, kita habiskan waktu untuk berdua dengan merenung –melalui tulisan atau bacaan-.

Saya yakin, pasti banyak sekali artikel kesehatan, penelitan, dan juga teori-teori luar negeri lainnya yang membenarkan tentang dampak marah-marah. Tapi, secara implisit, kita -lebih tepatnya saya- sering lupa bahwa Qur’an dan Hadits lah yang secara mendalam mengajak kita untuk berdialog. Bahwa sesungguhnya menahan amarah merupakan sebagian langkah menuju surgaNya.

Mungkin juga karena faktor usia, kita lupa. Karena jarang membaca, atau bahkan karena alasan lain kita mudah lupa. Tapi, sejatinya kita -SELALU- diingatkan secara tidak langsung, bukan?

Dalam hal ini manusia memang sering kembali ke sifat aslinya, meskipun sudah berusaha berubah menuju ke arah yang lebih baik. Tak ayal, kematian pun menjadi misteri dan penuh tanda tanya. Tidak selamanya yang kita lakukan untuk berbuat baik, pada akhirnya baik. Tapi tidak selamanya juga, yang kita lakukan buruk akan berakhir buruk. Bukankah yang mengetahui isi hati -MU- hanyalah Dia? Jadi, jangan putus asa untuk berlaku baik ya, -kalau bisa-.

Berlakulah seMAU kaMU. Marah, mengumpat, dan juga kesal lah –PADA TEMPATNYA-. Tapi, kalau kamu menahannya karena agamaMU, bukankah itu baik? Hmm… Secara kesehatan, kita terbebas dari muka tua, dari kepikunan, dan sebagainya. Tentu kalau anda ingin tahu lebih banyak lagi, maka perdalam lah bacaan Anda. Ya kan?



Terima kasih telah membaca tulisan Saya. Semoga bermanfaat ya!
Eits sekali lagi. Jangan lupa ya, Mengumpat dan Marah lah semau Anda. Hh.



Yogyakarta, September 2018

#bacanya_jangan_serius

0 komentar