JURNAL #67_ PESANAN IBUKU

Jujur, dari tadi aku sudah menaruh rasa curiga terhadap ibuku. Sepulang kuliah, aku melihat sebuah sepeda motor asing terparkir di depan rumah. Sedangkan  aku langsung saja ngeloyor masuk rumah sambil berkata, “Assalamu’alaikuuuum!!!” ternyata kudapati ada seorang Bapak bersama anak perempuannya masuk ke dalam rumah. <Padahal aku berharap ada seorang laki-laki, yang tahu-tahu melamarku! Hahaha!> Jomblo bebas berkhayal ya, wkwk.

Batinku berkata, “Loh, siapa mereka? Jangan-jangan itu cinta pertamanya ibu! Atau, ibu malah orang yang saking dicintainya, atau bisa juga ibu adalah orang yang paling berharga dan spesial bagi bapak itu, sampai-sampai dia menyempatkan berkunjung ke rumah kami segala!” Selidik punya selidik, aku harus bersabar menyimpan berbagai pertanyaan ini kepada ibu nantinya. Aku akan bertanya sepuas hati setelah bapak itu pulang dari rumah kami. Harus!

“Wa’alaikumussalam,” kata mereka bertiga.
“Kenalkan nak, Bapak ini merupakan teman sekelas ibu dan ini adalah anak perempuannya.”

Langsung saja aku bersalaman kepada Bapak tersebut beserta anaknya, kemudian dilanjut ibuku. Setelah itu aku kembali ngeloyor masuk ke kamar tanpa basa-basi. *Tolong dimaklumi, aku memang tidak pandai berbasa-basi karena dasarnya aku ini pemalu. Terima kasih!*

Setelah meninggalkan mereka bertiga, kira-kira selama setengah jam, aku sedikit menangkap kata-kata “Terima kasih ya, aku sampai sekarang selalu teringat pesanmu yang dulu lo!”

Wah, ini berbahaya! Aku semakin penasaran! Kira-kira, pesan apa yang dititipkan ibu kepada bapak itu? sampai-sampai dia masih ingat? Padahal sudah dua puluh tahun lebih mereka berpisah! Hmm… Kenapa Bapak itu tidak pulang-pulang, aku sudah tak sabar bertanya perihal masa remaja mereka berdua! Ayolah Pak, pulang!

Akhirnya, selama satu setengah jam kemudian, bapak tersebut bersama putrinya akhirnya pulang juga. Lega! Inilah saatnya kuajukan berbagai pertanyaan layaknya seorang wartawan! Eh, lebih tepatnya seorang hakim yang sedang menyidang kepada tersangka! Hahaha!

“Ehm… Bu, bu, bu, itu tadi teman dekat ibu yah?”
“Hmm... Temen sekelas ibu pas SMK.”
“Oh…”

Padahal, dari kata oh itu masih pengen tanya lagi… Tapi, kenapa nggak sampai gitu tanyanya. Ah, daripada rasa penasaran itu terus menggantung sampai mati, mending kutanyakan sekarang saja! Daripada aku mati penasaran, jadi arwah gentayangan, kan nggak enak? Haha! <Eh, la kok udah ngomongin mati segala? / Biar ingat, besok kita juga bakal mati, haha!>

Beberapa detik kemudian, aku bertanya lagi. “Ehm, lah buk, Bapak itu tadi orang yang pernah ibu sukai ya?”

“Nggak..."

Ah, masak nggak ada hubungan apa-apa, sampai bapak tadi bela-belain datang, kutanyakan sampai ibu masuk ke pertanyaan yang sesungguhnya! Hahaa!

“Oh, la berarti Bapak itu tadi jangan-jangan pernah suka sama ibu yah?”
“Iyaa…”

Ih, aku gemas sekali mendengar jawaban ibu. Kenapa selalu singkat jawabnya. Haha! <padahal aku sendiri juga sering begitu, haha!>

“Tadi aku dengar, bapaknya bilang terima kasih sama pesan ibu yang dulu. Emang isi pesannya apa? Sampai-sampai bapak itu ingat?”

Kurang lebih, begini ceritanya…

“Jujur, aku sudah lama memendam rasa kepadamu… Bagaimana denganmu sendiri?”

Aku tergagap dan tidak tahu harus membalas apa. Aku terdiam, lalu beberapa detik kemudian menjawab, “Mungkin, kamu akan merasa kesusahan jika bersamaku. Karena aku mempunyai banyak sekali permintaan, mungkin lebih tepatnya sebuah pesan, isyarat, maupun syarat. Jika kamu memang bersedia bersamaku.

“Sebutkan saja, pasti aku penuhi.”

“Kau yakin?”
“Ya, percayalah!”

“Pertama, kau harus bertanggung jawab menunaikan kewajibanmu yaitu sholat lima waktu, kedua kau harus bisa mengaji, dan terakhir kau tidak merokok. Tapi, jangan semata-mata kau lakukan semua itu karena aku. Mampukah kau?”

“Jujur, aku memang sulit melakukan semua itu. Kau tahu sendiri lah, aku ini anaknya bagaimana. Aku pemalas, nakal, dan banyak hal-hal negatif lainnya yang tentu sudah menempel dalam diriku ini. Tapi, jujur aku memang ingin berubah. Dan karena itulah, hatiku tergerak untuk berubah bersamamu. Maukah kau membantuku?”

“Dengan senang hati. Tapi, kumohon, niatkan karenaNya. Jangan berubah semata-mata karenaku!”

Jujur, aku bingung. Sangat bingung. Bahkan aku tidak pernah menyangka jika dia ternyata memendam rasa kepadaku. Tapi sayang, aku tidak memiliki rasa terhadapnya.

                        “Loh, berarti ibu memang nggak suka sama Bapak itu?”
                        “Nggak,” tandasnya.
                        “Ibu kok gitu?”
                        “La gimana, orang nggak cinta mau gimana lagi?”
                        “Terus kenapa nggak cinta? Kan dia sudah berubah ke arah lebih baik?”
“Ya namanya belum jodoh. Kalau nggak sama Bapak aslimu ya nanti kamu nggak bakalan lahir!”

Wah, memang susah kalau ibu sudah berkata seperti ini. Susah mengelak. Akhirnya kuputar balik lagi.
“Loh, terus Bapak asliku tahu nggak bu, kalau ada tamu (mereka berdua) yang dateng?”
“Oh, Bapak aslimu tadi baru saja pergi. Setelah beberapa saat pergi, mereka berdua datang tiba-tiba.”
“Ah, masak tiba-tiba bu? Berarti dia sudah pernah tahu rumah ibu?”
“Oh, ibu lupa berkata padamu. Tadi sebelumnya dia telepon ke nomor ibu. Di bilang mau berkunjung ke rumah ibu karena sebenarnya dia sering lewat depan rumah kita.”
Nah, kaaan?
“Ooh… Eh, la berarti cuma ke tempat ibu saja? Nggak ke tempat teman-teman yang lain juga?”
“Nggak. Dia kan katanya kalau pulang habis ashar terus.”
“Oooh…”
“Terus, Bapak tadi tahu, kalu ibu nggak suka sama dia?”
“Ya tahu, tapi dia nggak putus asa! Kan pernah ibu bilang. Kalau niatnya berubah jangan semata-mata karena ibu!”
“Kuat benar ya, bapak itu bu?”
“Ya, begitu lah. Tadi dia juga cerita. Berkat pesan ibu tadi, yang nyuruh dia perbaiki sholat sama ngaji dia sudah jadi kepercayaan masyarakat. Buktinya sekarang dia jadi kepala RT di desanya, lalu jadi bendahara masjid, dan pokoknya yang serba baik sekarang.”
“Oh…”
“Dulu, dia juga sering kirim surat sama ibu, tapi ibu memang nggak ada rasa sama dia. Jadi, dia juga nggak gimana-gimana. Tadi ibu juga sempat tanya, sekarang kamu ngrokok?”

Wah, ibu ternyata kalau bertanya nggak nanggung-nanggung. Sampai ke akar!

“Tapi dia jawab nggak. Ibu cuma khawatir saja, karena kasihan sama anak-anak dan istrinya kalau dia suka ngrokok. Kasihan tubuhnya juga.”

Eh, ibu masih khawatir ini? Bahaya! <Hey, jangan negative thinking, kan sesama umat manusia baiknya memang saling mengingatkan, bukan? / Oh, iya juga ya, secara face to face lebih tepatnya, nggak di depan umum. Eh! Hahaha!>

“Tadi, dia juga sempat bilang lagi ke ibu. Besok kalau ada reunian, mbok kamu datang. Kenapa nggak pernah terlihat? Kan silaturahmi memperpanjang umur dan menambah rezeki,” pintanya.

“Terus ibu bilang gimana?”
“Ya, InsyaAllah yaa.”
“Udah, gitu aja?”
“Iyaa.”

Obrolan berakhir… Kami sibuk dengan dunia masing-masing lagi, hahaa!

Tapi, yang dapat saya petik di sini adalah, Bapak tersebut memang benar-benar sudah berubah. Buktinya, dia mengajak anak perempuannya untuk ikut menemaninya sebagai mahramnya. Agar tidak disangka yang tidak-tidak. Salut pak! (Mungkin, kalau aku jadi anak perempuan bapaknya aku bakal interogasi bapaknya sampai ke titik penghabisan. Hahaha!)

Kedua, bapak tadi dan ibuku benar-benar menjaga perasaan terhadap rumah tangga mereka. Buktinya mereka masih menjaga silaturahmi tanpa terbawa perasaan. Haha!

Dan, semoga masih banyak lagi yang dapat dipetik oleh kalian sendiri ya!

Eh, ini jadi saya bikin tulisan ini karena menurut saya menarik ceritanya. Ala ala novel Dilan gimanaaa gitu… Endingnya juga sama-sama pupus. Hahaha!!!  Eh, kapan ya saya bikin novel? (Emang ada yang mau baca?) Haha, Entah…. Wkwk…

Terima kasih ya, sudah mau membaca tulisan saya!
Semoga bermanfaat!

2 komentar

  1. Tak kira "pesanan ibuku" itu artinya "ibuku (mu) pesan motor". Super sekali ibumu hil, menarik untuk dibaca 😃

    BalasHapus
  2. Lagi reti nek koe comment. Wkwk. Thank you... Hhh :)

    BalasHapus