“Bagaimana aku bisa senang membaca buku, kalau kenyataannya aku
lebih suka bermain-main dengan gawai? Bahkan, hanya menyentuhnya saja, sudah
terasa sangat berat, apalagi membacanya?” kataku dalam hati ketika aku
masih berstatus pelajar Sekolah Menengah Kejuruan.
Pengalamanku Bersama Buku
Bukankah tugas
seorang pelajar hanyalah belajar, membaca, dan menulis? Tapi, sekujur tubuhku
langsung menolak ketika berhadapan dengan beberapa buku saja! Sebegitu malasnya
kah aku, atau memang aku sendiri yang tidak mau dan mampu mengontrol diriku
sendiri? Atau, ada faktor lain yang mempengaruhi? Entahlah!
Waktu itu, aku
sempat berpikir bahwa aku tidak akan bersahabat dengan buku. Namun, sejak dulu
orang tuaku ternyata selalu mendorongku untuk membaca tanpa kusadari. Ayah yang
setiap paginya selalu meluangkan waktunya untuk membaca Al Qur’an, kemudian setelah
itu dilanjutkan dengan membaca koran yang dilanggannya. Bahkan sore harinya, dia
masih membaca Al Qur’an. Aku bahkan sering diajaknya mengaji bersama-sama,
namun aku lebih memilih bermain dengan gawaiku. Sedangkan ibu, di samping
membaca Al Qur’an di waktu pagi dan sore hari, dia juga rutin mengikuti acara pengajian
mingguan yang diadakan di desa kami. Ibu juga sering mengajakku, namun aku jarang
mengikutinya. Hanya aku dan adikku, yang masih suka bermain dengan dunia kami
sendiri. Faktanya, kedua orang tuaku membuktikan bahwa mereka peduli dengan budaya
literasi, khususnya membaca.
Sedari awal, aku
memang sangat malas membaca buku. Hanya komik yang kusenangi, itupun jarang
kubaca. Ibu juga pernah membelikanku beberapa komik kartun favoritku agar aku
juga terbiasa membaca, tapi bahkan aku tidak membacanya sampai tuntas. Aku lebih
memilih menonton kartunnya daripada membacanya. Jangankan komik, novel yang
sedang booming di kalangan remaja saja, aku tidak ikut membelinya di
toko buku. Apalagi pergi ke perpustakaan! Aku sama sekali bukan pelahap buku!
Gerbang Perjumpaan Pada Buku-Buku
Namun, setahun kemudian, aku lulus dan melepas statusku sebagai
pelajar. Hingga entah apa yang membuat diriku memutuskan mendaftar kuliah
dengan jurusan Ilmu Perpustakaan dan akhirnya diterima di salah satu Perguruan
Tinggi Negeri Yogyakarta. Mungkin, do’a ayah dan ibulah yang menuntunku sampai
kesini. Sebenarnya waktu itu aku tidak mau melanjutkan kuliah dengan jurusan
itu, karena sejak awal aku lebih fokus pada pilihan pertama dan kedua yaitu jurusan
Sastra Inggris dan Sastra Indonesia, yang notabene pasti juga berhubungan
dengan buku-buku. Namun, entah kenapa aku malah memasukkan jurusan Ilmu
Perpustakaan juga ke dalam pilihanku yang terakhir. Tapi, aku justru malah diterima?
Ya sudahlah!
Aku Sebagai Panutan?
Terhitung dua tahun dari sekarang, aku menjadi seseorang yang mulai
mencintai buku. Namun, aku belum menjadi pembaca yang rakus! Aku juga sudah
mulai suka menulis. Akhirnya, aku harus menelurkan kebiasaanku ini kepada
adikku, yang awalnya dia sangat malas menyentuh buku, minimal mau membaca satu
halaman saja, aku sudah cukup senang.
Aku juga harus banyak membaca, menulis, dan mengajari adikku agar
tidak asyik dengan dunianya sendiri. Terutama di era digital ini. Sangat
penting peran keluarga untuknya, terutama aku sebagai anak pertama yang menjadi
panutan. Oh Tuhan, membaca saja masih berat kulakukan, apalagi menjadi panutan!
Membiasakan ke Perpustakaan
Juni kemarin, adikku
resmi menjadi pelajar Sekolah Menengah Pertama. Tapi, bukankah hal itu merupakan
fase-fase dimana dia susah diatur? Tapi, aku tidak patah arang. Aku memintanya
meminjamkan buku di perpustakaan. Awalnya dia sangat malas, itu pasti. Lalu di
siang harinya, aku menjemputnya pulang dari sekolah dan menanyakan perihal buku
yang dia pinjamkan tadi. Alangkah terkejutnya aku, ketika dia bilang bahwa dia
lupa meminjamkan buku di perpustakaan.
Aku langsung memintanya untuk meminjamkan buku di perpustakaan sekolahnya
pada saat itu juga, agar dia juga terbiasa pergi ke perpustakaan. Siapa tahu,
tiba-tiba dia tertarik dengan judul buku yang ada di sana. Beruntung, dia mau meminjamkan
buku dan perpustakaannya belum tutup! Tapi, kalau dia tidak mau meminjamkan
buku, aku biasanya akan menakut-nakutinya dengan ucapan bahwa “Kalau kamu tidak berusaha membaca banyak buku,
mana mungkin kamu bisa menyelesaikan soal cerita sendiri. Apalagi sekarang kurikulum
2013 yang semakin susah, soal-soalnya kebanyakan main logika. Jika kamu tidak
pandai membaca, tentu akan susah memahaminya! Apalagi hanya sekadar meminjamkan
buku, mungkin saja kamu akan terbantu saat mengerjakan soal cerita nantinya!
Bukankah kebaikan itu dibalas dengan kebaikan?” akhirnya dia lunak jika
aku berkata kepadanya demikian. Sebab, dia selalu saja kesulitan dalam
mengerjakan soal-soal cerita, namun sangat lancar jika mengerjakan soal-soal
yang lain.
Berburu Informasi di Dunia Digital
Selain itu, aku juga sering mencari tips maupun materi di website agar
adikku mau membaca. Baik itu koran, majalah, maupun buku elekronik dalam
gawainya. Aku sangat beruntung ketika menemukan website milik Kemdikbud ini,
yaitu “Sahabat Keluarga”. Ternyata, selain itu juga ada akun Instagramnya
juga di sini. Kembali lagi ke topik, kenapa kukatakan bahwa aku beruntung?
Begini ceritanya.
Awalnya aku sangat
mengagumi buku milik Emha Ainun Nadjib berkat ayah yang selalu melihat
kajiannya lewat video di Youtube dan membaca koleksi bukunya melalui
perpustakaan digital. Aku iseng-iseng mencari apakah ada, perpustakaan milik
EAN ini. Akhirnya ketemu, ternyata lokasinya juga tidak jauh dari rumahku. Lalu,
aku pun mengunjungi perpustakaanya bersama ayahku. Ah, betapa senangnya aku.
Ternyata kami juga memiliki penulis favorit yang sama. Memang, buah tidak jatuh
jauh dari pohonnya bukan?
Tidak hanya itu,
aku juga mengagumi Noe atau yang biasa disebut Sabrang, yaitu vokalis band
Letto yang sekaligus merupakan anak dari Emha Ainun Nadjib. Aku baru tahu kalau
Noe merupakan anak dari Emha ketika aku mengunjungi perpustakaanya. Nah, berkat
keingintahuanku itu, aku langsung mencari artikel yang berhubungan dengan
dengan Noe.
Ketemu! Aku
menemukannya dengan link yang menuju ke website Sahabat Keluarga. Di sana Noe
membagikan pengalaman dalam mendidik anaknya serta beberapa tips yang lain. Karena
aku sangat penasaran dengan website ini, akhirnya kubuka menunya satu per satu.
Ternyata ada banyak sekali harta karun yang kutemukan disana. Aku dapat mempelajari
tips mendidik anak-anak usia TK, SD, SMP, SMA, bahkan lintas usia. Tidak hanya
itu, aku juga mendapat berbagai kumpulan inspirasi keluarga hebat, dongeng, materi
pdf, poster, audio, opini, maupun artikel yang tentunya sangat penting untuk
dibaca oleh orang tuaku dalam mendidik kami. Masih ada lagi, ternyata di
website ini juga disediakan forum diskusi untuk tanya jawab seputar masalah
keluarga. Akhirnya aku langsung membagikan link tersebut ke grup WhatsApp keluarga
kami, yang beranggotakan aku, Ayah, Ibu, dan adikku.
Aku memang sengaja
membuat grup WhatsApp khusus keluarga, agar tidak perlu chatting pribadi.
Di samping itu, kami juga saling mengikuti akun masing-masing di sosial media
agar dapat memantau aktivitas satu sama lain.
Saling Peduli
Ayah dan ibu juga sering menasehati dan memantau kami agar tidak
mengikuti pergaulan yang kurang sehat. Tidak melihat konten-konten yang belum
cukup umur. Tidak terpaku terus menerus terhadap gawai dan tidak mengacuhkan
lingkungan sekitar. Serta berhati-hati terhadap orang asing, karena di era
digital ini selain marak terjadinya penipuan, terjadi juga pelecehan seksual.
Tentu, mereka selalu berusaha melindungi kami dari dunia digital ini.
Ayah mengikuti beberapa sosialisasi di sekolah terkait dengan
perkembangan adikku. Mengikuti beberapa sosialisasi dan banyak-banyak membaca,
tentu akan berdampak besar bagi perilaku dan pendidikan adikku nantinya.
Beruntung, di sekolahnya sudah menerapkan Gerakan Literasi Sekolah, yaitu
kegiatan membaca selain buku pelajaran, sebelum jam pelajaran pertama dimulai.
Jadi tidak ada alasan untuk tidak membaca. Berikut ini buku dari Kemdikbud yang
didapatkan ayah saat mengikuti sosialisasi di sekolah adikku.
Di sisi lain, aku sering diingatkan ibu agar tidak lupa untuk
mendorong adikku belajar. Dia juga sering meminta adikku lebih banyak membaca,
menemani dan membantunya dalam belajar, maupun membaca buku bersama-sama.
Aku menyarankan adikku untuk menginstal aplikasi perpustakaan
digital di gawainya agar bisa membaca bacaan favoritnya, yaitu komik dan cerita
berhantu. Beruntung, di era ini zaman sudah semakin maju, perpustakaan fisik
juga semakin berkembang menjadi perpustakaan digital.
Wisata Edukasi Alternatif
Aku juga sering
mengajak keluargaku wisata edukasi sekaligus rekreasi seperti pergi ke beberapa
museum, perpustakaan, dan toko buku untuk meningkatkan ilmu pengetahuan. Atau
bahkan cukup di rumah saja, lalu membuat berbagai kreasi, bahkan menonton film
bersama. Berikut ini beberapa kegiatan kami.
Membuat Kreasi Handmade
Mengikuti Kegiatan Membatik di Museum
Menonton Film Dokumenter
Perjuangan Pahlawan
Melihat Miniatur Pahlawan
Berburu Buku
Mendaftar di Sekolah Baru
HOAX di Era Digital
Pernah suatu ketika
adikku menyebarkan berita HOAX di sosial media. Aku begitu kesal, namun aku
tidak sepatutnya marah, karena aku sendiri tahu bahwa dia masih harus banyak
belajar. Terlebih, dia masih pelajar. Bukankah tugas keluarga juga saling
mengingatkan?
Jadi begini
ceritanya, adikku ini menyebarkan sebuah pesan berantai yang intinya kita akan
mengalami keracunan ketika memakan mi XXX. Hal ini diungkap oleh Dr XXX dan
Info KemenKes RI. Padahal, setelah kutelusuri ulang, ternyata Dr tersebut tidak
mengungkapkan demikian. Ada sumber juga yang menjelaskan bahwa pesan berantai
tersebut adalah HOAX. Akhirnya kuberitahu dia, bagaimana cara mencari informasi
yang valid, mengecek kebenaran informasi tersebut, dan berhati-hati dalam
membagikan informasi di berbagai sosial media. Termasuk kepada ayah dan ibu
juga, agar mereka tidak mudah percaya terhadap pesan berantai di berbagai
sosial media, karena belum tentu benar keberadaannya.
Menghadapi Era Digital
Syukurlah, perlahan-lahan adikku mulai kritis dalam membaca dan
tanggap terhadap literasi digital. Saat aku mengecek sosial medianya, ternyata
dia beberapa kali memperingatkan agar tidak membagikan berita HOAX kepada kawan-kawannya
melalui sosial media. Perubahan yang tak terduga, kataku dalam hati. Pernah
suatu ketika saat aku menjemputnya pulang dari sekolah, aku asal bertanya seperti
ini.
“Tadi pelajarannya gimana? Ada hal yang menyenangkan atau
menyedihkan nggak?”
“Ada sih, terutama banyak
yang menyedihkan,” jawabnya.
“Apaan? kamu bisa sedih? Kamu apa temenmu yang jadi korban?” Aku
khawatir kalau-kalau dia terkena bullying.
“Ah, Mbak itu kepo!” Tapi, akhirnya dia mau cerita setelah kudesak.
Untunglah itu bukan bullying.
“Lalu, jika ada jam kosong biasanya kamu ngapain?”
“Ya baca buku, mau ngapain lagi?”
“Yang bener?”
“Kalau nggak ya ke perpustakaan.”
Aku menatapnya dalam kaca spion. Tak ada kalimat kebohongan yang
terpancar dari ke dua bola matanya. Aku langsung terdiam. Seperti mimpi.
Akhirnya, keluarga kami mulai terbiasa setiap hari dan saling
mengingatkan kegiatan berliterasi. Khususnya dalam hal membaca maupun literasi
digital, yang secara tidak langsung dapat meningkatkan kemajuan pendidikan.
Bukankah kita bisa senang membaca, jika terbiasa membacanya?
Aku sangat senang, dengan banyak membaca aku bisa membagikan ilmu apa
saja yang kumiliki agar orang-orang, terutama kepada keluargaku agar tidak
terjerumus ke dalam ganasnya berita HOAX serta mampu memilah informasi yang
valid saat terjadinya ledakan informasi di era ini. Semoga tulisan ini
bermanfaat bagi para pembaca yang budiman. Terima kasih sudah mau meluangkan
waktu untuk membaca.
Yogyakarta,
Agustus 2018
#sahabatkeluarga
#pelibatan keluarga pada penyelenggaraan pendidikan di era kekinian
#literasi
#digital
"Tulisan ini juga dimuat dalam https://www.kompasiana.com/hildarahmawati9119/5b6bb7bdd1962e181a43b063/aku-buku-dan-literasi-dalam-dunia-digital "
"Tulisan ini juga dimuat dalam https://www.kompasiana.com/hildarahmawati9119/5b6bb7bdd1962e181a43b063/aku-buku-dan-literasi-dalam-dunia-digital "