“Hey, bagaimana jika suatu saat nanti kau dicintai oleh orang yang
ta’at beragama namun kau belum mencintainya? Apakah kamu akan menerimanya? Atau,
kamu jatuhkan pada pilihan yang kedua, yaitu bersama orang yang kau cintai
namun sedang-sedang saja dalam beragama? Kamu pilih yang mana?”
“Haruskah aku menjawab?”
“Tentu! Karena aku yakin setiap orang mempunyai posisi yang sama
seperti ini.”
“Hey, tapi tunggu dulu. Sebelum aku menjawab, aku juga ingin
bertanya kepadamu terlebih dahulu. Bagaimana jika kamu telah menyimpan perasaan
kepada seseorang tapi dia belum tentu menikahimu, apakah kamu akan tetap
menunggunya? Atau, kamu memilih orang yang berniat berta’aruf dan menikah denganmu
tapi kamu belum mencintainya?”
“Jawablah pertanyaanku terlebih dahulu!”
“Baiklah, aku akan menjawabnya. Jika kamu menjawab pertanyaanku terlebih
dahulu.”
“Dasar! Siapa yang tanya duluan, siapa yang jawab duluan? XA85190FDZZ!!@^!$”
“Hh.”
“Aku tentu akan memilih
orang yang aku cintai meskipun dia belum tentu menikahiku. Bukankah setiap
orang mempunyai alasan? Ya, tapi tidak denganku. Bukankah cinta tidak punya
alasan? Ya, begitu pula denganku. Selama dia belum dimiliki oleh orang lain,
aku akan selalu mendoakannya, untuk menjadi tulang rusukku nantinya. Dengan
mendoakannya, aku telah memiliki dirinya sebanyak 75% sisanya hanya perlu
keberanian untuk mengungkapkannya. Unik bukan, seperti kita membuat skripsi
saja. Perkara dia mau menikah denganku atau tidak, jika memang belum jodoh,
kita tentu akan diberikan pasangan yang sesuai dengan kebutuhan kita bukan? Seperti
kisah Ali dan ‘Aisyah, yang diam-diam ternyata mereka saling mencintai dan
ternyata berjodoh melalui do’a-do’a mereka. Sekarang, jawablah pertanyaanku!”
“Baiklah, jujur aku tidak sedewasa pemikiranmu itu. Aku juga tidak
pandai berkata-kata. Tapi yang aku tahu, bahwa Tuhan tidak pernah tidur. Dia akan
melihat manusia yang selalu berusaha keras untuk mendapatkan apa yang dia mau. Kalau
aku, mungkin akan memilih orang yang memang lebih dewasa dengan pemikiranku. Bukan
berarti mengesampingkan agamanya. Bukankah mencari jodoh itu dilihat dari
hatinya? Lalu, bagaimana kita bisa melihat hati seseorang, jika kita sendiri
tidak pernah bersua maupun bercakap-cakap dengannya? Begini caranya. Hh.
Misalnya saja, aku akan mengetesnya dengan beberapa pertanyaan
seperti, bagaimana rencanamu untuk membangun bahtera RT denganku ke depannya
nanti? Atau, kenapa kamu harus memilihku? Bukankah aku ini tidak cantik, tidak
sebaik yang kamu pikirkan, tidak pandai, dan juga tidak kaya, kenapa harus aku?
Kedua, mungkin saja aku akan asal bertanya lagi, jika kita nanti
mempunyai anak nakal, bagaimana caramu mendidiknya? Aku ini belum pandai dalam
beragama. Aku bisa saja bermaksiat tanpa sepengetahuanmu. Atau bahkan, aku
masih munafik, dan juga masih belajar memperbaiki kekurangan.
Dengan cara seperti itulah, kamu akan tahu. Darimana jawabannya
yang jujur atau dibuat-buat. Sering-seringlah asal bertanya. Itu mungkin akan
sangat menyebalkan. Tapi, di sisi lain akan sangat membantu. Ingat, bertanyalah
sesuai waktu, kondisi, dan seperlunya saja. Jangan dikira dia tersangka, yang
seenaknya kamu ajukan berbagai pertanyaan. Hh. Apakah jawabanku membantu?”
“Ya, setidaknya aku lebih mengerti perkara mencari tulang rusuk
ini. Eh, bagaimana dengan jawabanku sendiri?”
“Lumayan membuatku berpikir lebih keras lagi. Begitu juga dengan orang-orang
di luar sana. Tapi setidaknya, aku juga tersadarkan, hh.”
Eits, terima kasih telah membaca tulisan saya. Semoga bermanfaat yaaa!
Yogyakarta, September 2018
#cerita dalam dialog ini muncul karena ada banyak sekali yang
bertanya tentang nikah, padahal sini aja belum berpengalaman, tapi sering ditanya-tanyain.
Haha.. Miris.