Jujur,
dari tadi aku sudah menaruh rasa curiga terhadap ibuku. Sepulang kuliah, aku
melihat sebuah sepeda motor asing terparkir di depan rumah. Sedangkan aku langsung saja ngeloyor masuk rumah sambil
berkata, “Assalamu’alaikuuuum!!!” ternyata kudapati ada seorang Bapak bersama
anak perempuannya masuk ke dalam rumah. <Padahal aku berharap ada seorang
laki-laki, yang tahu-tahu melamarku! Hahaha!> Jomblo bebas berkhayal ya,
wkwk.
Batinku
berkata, “Loh, siapa mereka? Jangan-jangan itu cinta pertamanya ibu! Atau, ibu malah
orang yang saking dicintainya, atau bisa juga ibu adalah orang yang paling
berharga dan spesial bagi bapak itu, sampai-sampai dia menyempatkan berkunjung
ke rumah kami segala!” Selidik punya selidik, aku harus bersabar menyimpan
berbagai pertanyaan ini kepada ibu nantinya. Aku akan bertanya sepuas hati
setelah bapak itu pulang dari rumah kami. Harus!
“Wa’alaikumussalam,” kata mereka
bertiga.
“Kenalkan nak, Bapak ini merupakan teman
sekelas ibu dan ini adalah anak perempuannya.”
Langsung saja aku bersalaman kepada
Bapak tersebut beserta anaknya, kemudian dilanjut ibuku. Setelah itu aku
kembali ngeloyor masuk ke kamar tanpa basa-basi. *Tolong dimaklumi, aku memang
tidak pandai berbasa-basi karena dasarnya aku ini pemalu. Terima kasih!*
Setelah meninggalkan mereka bertiga,
kira-kira selama setengah jam, aku sedikit menangkap kata-kata “Terima kasih ya,
aku sampai sekarang selalu teringat pesanmu yang dulu lo!”
Wah, ini berbahaya! Aku semakin penasaran!
Kira-kira, pesan apa yang dititipkan ibu kepada bapak itu? sampai-sampai dia masih
ingat? Padahal sudah dua puluh tahun lebih mereka berpisah! Hmm… Kenapa Bapak
itu tidak pulang-pulang, aku sudah tak sabar bertanya perihal masa remaja
mereka berdua! Ayolah Pak, pulang!
Akhirnya, selama satu setengah jam
kemudian, bapak tersebut bersama putrinya akhirnya pulang juga. Lega! Inilah
saatnya kuajukan berbagai pertanyaan layaknya seorang wartawan! Eh, lebih
tepatnya seorang hakim yang sedang menyidang kepada tersangka! Hahaha!
“Ehm… Bu, bu, bu, itu tadi teman dekat
ibu yah?”
“Hmm... Temen sekelas ibu pas SMK.”
“Oh…”
Padahal, dari kata oh itu masih pengen
tanya lagi… Tapi, kenapa nggak sampai gitu tanyanya. Ah, daripada rasa
penasaran itu terus menggantung sampai mati, mending kutanyakan sekarang saja! Daripada
aku mati penasaran, jadi arwah gentayangan, kan nggak enak? Haha! <Eh, la
kok udah ngomongin mati segala? / Biar ingat, besok kita juga bakal mati,
haha!>
Beberapa detik kemudian, aku bertanya
lagi. “Ehm, lah buk, Bapak itu tadi orang yang pernah ibu sukai ya?”
“Nggak..."
Ah, masak nggak ada hubungan apa-apa,
sampai bapak tadi bela-belain datang, kutanyakan sampai ibu masuk ke pertanyaan
yang sesungguhnya! Hahaa!
“Oh,
la berarti Bapak itu tadi jangan-jangan pernah suka sama ibu yah?”
“Iyaa…”
Ih, aku gemas sekali mendengar jawaban
ibu. Kenapa selalu singkat jawabnya. Haha! <padahal aku sendiri juga sering
begitu, haha!>
“Tadi aku dengar, bapaknya bilang terima
kasih sama pesan ibu yang dulu. Emang isi pesannya apa? Sampai-sampai bapak itu
ingat?”
Kurang lebih, begini ceritanya…
“Jujur, aku sudah lama memendam rasa
kepadamu… Bagaimana denganmu sendiri?”
Aku tergagap dan tidak tahu harus
membalas apa. Aku terdiam, lalu beberapa detik kemudian menjawab, “Mungkin,
kamu akan merasa kesusahan jika bersamaku. Karena aku mempunyai banyak sekali
permintaan, mungkin lebih tepatnya sebuah pesan, isyarat, maupun syarat. Jika
kamu memang bersedia bersamaku.
“Sebutkan saja, pasti aku penuhi.”
“Kau yakin?”
“Ya, percayalah!”
“Pertama, kau harus bertanggung jawab
menunaikan kewajibanmu yaitu sholat lima waktu, kedua kau harus bisa mengaji,
dan terakhir kau tidak merokok. Tapi, jangan semata-mata kau lakukan semua itu
karena aku. Mampukah kau?”
“Jujur, aku memang sulit melakukan semua
itu. Kau tahu sendiri lah, aku ini anaknya bagaimana. Aku pemalas, nakal, dan
banyak hal-hal negatif lainnya yang tentu sudah menempel dalam diriku ini.
Tapi, jujur aku memang ingin berubah. Dan karena itulah, hatiku tergerak untuk
berubah bersamamu. Maukah kau membantuku?”
“Dengan senang hati. Tapi, kumohon,
niatkan karenaNya. Jangan berubah semata-mata karenaku!”
Jujur, aku bingung. Sangat bingung.
Bahkan aku tidak pernah menyangka jika dia ternyata memendam rasa kepadaku. Tapi
sayang, aku tidak memiliki rasa terhadapnya.
“Loh, berarti ibu memang
nggak suka sama Bapak itu?”
“Nggak,” tandasnya.
“Ibu kok gitu?”
“La gimana, orang nggak
cinta mau gimana lagi?”
“Terus kenapa nggak
cinta? Kan dia sudah berubah ke arah lebih baik?”
“Ya namanya belum jodoh. Kalau nggak
sama Bapak aslimu ya nanti kamu nggak bakalan lahir!”
Wah, memang susah kalau ibu sudah
berkata seperti ini. Susah mengelak. Akhirnya kuputar balik lagi.
“Loh, terus Bapak asliku tahu nggak bu,
kalau ada tamu (mereka berdua) yang dateng?”
“Oh, Bapak aslimu tadi baru saja pergi.
Setelah beberapa saat pergi, mereka berdua datang tiba-tiba.”
“Ah, masak tiba-tiba bu? Berarti dia
sudah pernah tahu rumah ibu?”
“Oh, ibu lupa berkata padamu. Tadi
sebelumnya dia telepon ke nomor ibu. Di bilang mau berkunjung ke rumah ibu
karena sebenarnya dia sering lewat depan rumah kita.”
Nah, kaaan?
“Ooh… Eh, la berarti cuma ke tempat ibu
saja? Nggak ke tempat teman-teman yang lain juga?”
“Nggak. Dia kan katanya kalau pulang habis
ashar terus.”
“Oooh…”
“Terus, Bapak tadi tahu, kalu ibu nggak
suka sama dia?”
“Ya tahu, tapi dia nggak putus asa! Kan
pernah ibu bilang. Kalau niatnya berubah jangan semata-mata karena ibu!”
“Kuat benar ya, bapak itu bu?”
“Ya, begitu lah. Tadi dia juga cerita. Berkat
pesan ibu tadi, yang nyuruh dia perbaiki sholat sama ngaji dia sudah jadi
kepercayaan masyarakat. Buktinya sekarang dia jadi kepala RT di desanya, lalu
jadi bendahara masjid, dan pokoknya yang serba baik sekarang.”
“Oh…”
“Dulu, dia juga sering kirim surat sama
ibu, tapi ibu memang nggak ada rasa sama dia. Jadi, dia juga nggak
gimana-gimana. Tadi ibu juga sempat tanya, sekarang kamu ngrokok?”
Wah, ibu ternyata kalau bertanya nggak
nanggung-nanggung. Sampai ke akar!
“Tapi dia jawab nggak. Ibu cuma khawatir
saja, karena kasihan sama anak-anak dan istrinya kalau dia suka ngrokok.
Kasihan tubuhnya juga.”
Eh, ibu masih khawatir ini? Bahaya!
<Hey, jangan negative thinking, kan sesama umat manusia baiknya
memang saling mengingatkan, bukan? / Oh, iya juga ya, secara face to face lebih
tepatnya, nggak di depan umum. Eh! Hahaha!>
“Tadi, dia juga sempat bilang lagi ke
ibu. Besok kalau ada reunian, mbok kamu datang. Kenapa nggak pernah terlihat?
Kan silaturahmi memperpanjang umur dan menambah rezeki,” pintanya.
“Terus ibu bilang gimana?”
“Ya, InsyaAllah yaa.”
“Udah, gitu aja?”
“Iyaa.”
Obrolan berakhir… Kami sibuk dengan dunia
masing-masing lagi, hahaa!
Tapi, yang dapat saya petik di sini
adalah, Bapak tersebut memang benar-benar sudah berubah. Buktinya, dia mengajak
anak perempuannya untuk ikut menemaninya sebagai mahramnya. Agar tidak disangka
yang tidak-tidak. Salut pak! (Mungkin, kalau aku jadi anak perempuan bapaknya
aku bakal interogasi bapaknya sampai ke titik penghabisan. Hahaha!)
Kedua, bapak tadi dan ibuku benar-benar menjaga
perasaan terhadap rumah tangga mereka. Buktinya mereka masih menjaga
silaturahmi tanpa terbawa perasaan. Haha!
Dan, semoga masih banyak lagi yang dapat
dipetik oleh kalian sendiri ya!
Eh, ini jadi saya bikin tulisan ini
karena menurut saya menarik ceritanya. Ala ala novel Dilan gimanaaa gitu… Endingnya juga sama-sama pupus. Hahaha!!!
Eh, kapan ya saya bikin novel? (Emang
ada yang mau baca?) Haha, Entah…. Wkwk…
Terima kasih ya, sudah mau membaca
tulisan saya!
Semoga bermanfaat!