“Widih, sembarangan ini orang naik motornya. Emang, yang mau cepat
sampai tujuan cuma situ doang apa?!” Lalu, ujung-ujungnya kita kebawa emosi dan
ditularkan ke orang lain –teman sendiri- misalnya. Secara nggak sadar, ternyata
kita malah mengumpat kepadanya, ya nggak sih? Jujur, sebenarnya saya nggak
masalah sih kalau ada yang mengumpat ke arah saya. –TAPI- Tolong ya, kalau
mengumpat sesuaikan dengan lokasi dan waktu yang tepat. Eh, Haha!
Saya juga nggak masalah. Jika ada orang yang kebetulan melampiaskan
rasa marahnya sama saya. Toh, memang rasa kesal, marah, dan juga -ngampet-
ngumpat adalah hak setiap warga negara.
“Hey, kau pikir ini isi dari sebuah pembukaan dasar negara?!”
“Oh, maaf. Mari lanjut ke topik.”
Sebagai pendengar -yang baik-, sebisa mungkin kita menerima dan
menampung amarah, umpatan, dan juga kekesalan dari narasumber -alias si
pencurhat- tadi bukan? Ya, kalau bisa sih juga memberikan dorongan atau masukan.
Tapi, kok ya susah gitu ya, membuat orang menjadi -sedikit- lebih baikan
melalui lisan kita. Lebih mantap kalau baca tulisan. Iya nggak sih? Haha!
“Nggak juga sih, tiap orang beda-beda.”
“Mungkin juga ya? Tapi kan, orang butuh waktu untuk meredam luka,
maka dari itu mereka sering baca tulisan, quotes, atau kata-kata motivasi
sebagai bentuk “kehidupan awal” dari mereka. Dibanding melalui lisan, kita
sering lupa. Menurutku lo."
“Terserah!”
“Ya elah, marah gitu doang?”
“Hmm”
-__-
…Hhh…
Selepas maghrib kemarin, saya melanjutkan perjalanan pulang menuju
ke rumah. Tapi, di tengah perjalanan ternyata saya disalip oleh beberapa anak
muda, yang kemungkin besar seumuran dengan saya.
Padahal, saya tidak begitu lambat dan juga tidak terlalu cepat
dalam berkendara. Cuma dasarnya saja mereka ingin kebut-kebutan. Tau sendiri
lah, anak zaman sekarang serba “grusa-grusu” (padahal saya juga).
Lampu hijau pun menyala dari kejauhan. Saya maksimalkan laju kecepatan
saya dan berada di titik 70 KM/Jam. Padahal aslinya saya sendiri sudah “ketar-ketir”.
Takut di sana sudah merah. Astaga! ternyata benar, lampu lalu lintasnya sudah
berwarna merah. Sedangkan si penyelip tadi entah sudah berada di area mana,
saya tidak tahu. Mungkin sudah “bablas” ditelan bangjo di depannya.
Begitu berhenti di lampu merah, ada dua orang anak TK yang diboncengkan
bapaknya di samping saya. Waktu itu saya
cuma lihat anaknya sekilas saja. Tapi, sejurus kemudian, anak yang duduk di
tengah jok motor tersebut– yang kemungkinan besar itu adalah adiknya- kemudian berteriak
“La Taghdob Walakal Jannah” secara berulang kali. Sehingga mau nggak mau saya menengok lah kepadanya.
Sebentar, sepertinya saya pernah mendengar ungkapan seperti ini.
Namun saya lupa dan tidak pernah menerapkannya lagi. Akhirnya beberapa detik
kemudian, bukannya saya ingat, ternyata adik tersebut melafalkan artinya
sendiri secara berulang-ulang juga. "Jangan Marah-Marah, Bagimu Surga." Kalimat itu kemudian terngiang dalam pikiran dan juga gendang telinga saya -sampai saat ini-.
Apalagi, pas saya tersenyum ke arahnya, dia -say good bye- lewat tangannya lagi. Kan, saya jadi kebawa perasaan? Masak anak TK aja -dadadada- sama saya. Haha! Mungkin kalau sudah besar dia bakal jadi pemuda yang bijak, ramah, dan baik. Hahaa. Mau nggak mau saya kan juga ikutan -dadadada-, bodoh amat lah, orang di samping, belakang, dan juga depan saya ngeliatin. Eh, tapi yang saya sayangkan adalah, kenapa Bapaknya nggak tahu kalau anaknya -dadadada- ke arah saya? Hmm.. Ya sudahlah, lampu sudah berganti. Saya bergegas meluncur.
Oh Tuhan, saya merasa tersentil bukan?! Begitu banyak tanda yang
Kau kirimkan kepada kami -khususnya saya- tapi ternyata kami tidak peka juga! Banyak
sih, orang yang bilang kaya gitu kepada kita melalui lisan. Tapi, otak kita kan
nggak mungkin mengingat semua itu. Maka, sama kaya yang saya bilang tadi, mungkin
kita lebih merasa “baikan” saat berdialog dan bercanda melalui tulisan. Mari,
kita habiskan waktu untuk berdua dengan merenung –melalui tulisan atau bacaan-.
Saya yakin, pasti banyak sekali artikel kesehatan, penelitan, dan
juga teori-teori luar negeri lainnya yang membenarkan tentang dampak marah-marah.
Tapi, secara implisit, kita -lebih tepatnya saya- sering lupa bahwa
Qur’an dan Hadits lah yang secara mendalam mengajak kita untuk berdialog. Bahwa
sesungguhnya menahan amarah merupakan sebagian langkah menuju surgaNya.
Mungkin juga karena faktor usia, kita lupa. Karena jarang membaca,
atau bahkan karena alasan lain kita mudah lupa. Tapi, sejatinya kita -SELALU-
diingatkan secara tidak langsung, bukan?
Dalam hal ini manusia memang sering kembali ke sifat aslinya,
meskipun sudah berusaha berubah menuju ke arah yang lebih baik. Tak ayal,
kematian pun menjadi misteri dan penuh tanda tanya. Tidak selamanya yang kita
lakukan untuk berbuat baik, pada akhirnya baik. Tapi tidak selamanya juga, yang
kita lakukan buruk akan berakhir buruk. Bukankah yang mengetahui isi hati -MU-
hanyalah Dia? Jadi, jangan putus asa untuk berlaku baik ya, -kalau bisa-.
Berlakulah seMAU kaMU. Marah, mengumpat, dan juga kesal lah –PADA
TEMPATNYA-. Tapi, kalau kamu menahannya karena agamaMU, bukankah itu baik? Hmm…
Secara kesehatan, kita terbebas dari muka tua, dari kepikunan, dan sebagainya.
Tentu kalau anda ingin tahu lebih banyak lagi, maka perdalam lah bacaan Anda.
Ya kan?
Terima kasih telah membaca tulisan Saya. Semoga bermanfaat ya!
Eits sekali lagi. Jangan lupa ya, Mengumpat dan Marah lah semau
Anda. Hh.
Yogyakarta, September 2018
#bacanya_jangan_serius