Jurnal#22_Bacalah Pikiranku

Bacalah pikiranku (#1) 



Gerak langkah kami malah melambat. Sedangkan hujan mulai melesat.

"Sepertinya mulai gerimis hari ini. Kita percepat langkah kita sedikit laah. Mau hujan ini. " Gerutuku pada Dista.

"Iya, Sudah ku bilang kan tadi, kalau mau pergi bawa mantrol. Kenapa malah nggak dibawa?" Jawabnya.

Aku pun tak menanggapinya bicara. Hanya sesaat. Setelah gerimis tak jadi menurunkan amarahnya, Aku pun mulai membuka alih pembicaraan.

"Setelah ini kita mau kemana?" Tanyaku pada kawanku itu.

"Mampir sholat dulu yaa.."

"Okedeh.. Shaap.."

Selepas sholat magrib, ada seorang Ibu-Ibu yang mengajak kawanku berbicara. Aku bahkan tak tau dia siapa.

"Nduk, nduk. Itu siapa e?" Tanya Ibu-Ibu yang duduk disamping kawanku itu.

Hari ini Aku bermalam di tempat kawanku. Dimana Aku menghabiskan malamku membahas ide-ide gila tentang skripsi. Maklum saja jika Aku menjadi point of view orang-orang sekitar. Bak artis masuk desa. Haha

Tak terduga.
Tak terkira.
Apa mau dikata.

"Itu Syifa bu. Teman seangkatannya Mas Gustam."

Sontak saja Aku langsung menoleh. Apa? Jadi Aku sedang berhadapan dengan Ibunya Gustam? Tanyaku dalam hati.  Tanpa pikir panjang langsung kujabat tangannya. Sedangkan kawanku itu masih asyik bercakap-cakap dengan remaja di desanya.

"Maaf bu. Anda ini Ibunya Gustam ?"

"Iya nduk. La kamu ini siapa? Temen sekolahnya dulu ya?"

"Iya bu. Saya teman SMP nya dulu."

Apa bisa dikata teman ya? Bahkan bicara dengannya saja tidak pernah. Aku hanya tau dirinya dari teman-teman yang lain. Bahwa dia itu suka bergerombol dengan cewek, pintar matematika (UN MTK nya saja 10), dan yang jelas jago masak.

Aku pun memulai topik pembicaraan.

"Sekarang Gustam kuliah jurusan apa bu?"

"O, dia di jurusan boga. La kamu ini kok bisa kenal sama Dista e?"

Jadi, ceritanya si Dista ini teman sekelasku di kampus. Nah, ternyata dia sepupunya si Gustam. Dan yang lebih parah lagi. Sekarang si Gustam bener-bener mendadak alim dan kata Dista dia bisa baca pikiran orang semenjak ikutan organisasi kampus semacam Rohis di SMA seperti itu.

 "Saya itu temen sekelas Dista di kampus. Dan juga teman seangkatannya Gustam di SMP."

"O. Pantesan kok dari tadi kalian itu deket banget. Ternyata teman sekampus to."

Karena langit senja sudah berganti menjadi biru kelam, maka kami harus bergegas pulang. Akhirnya kuucap salam perpisahan pada Ibunya Gustam. Namun dia masih ingin mengetahui lebih banyak lagi tentangku. Aku hanya bisa tersenyum, tak kuasa melepas jabatan  tangannya yang erat.


"Hal yang paling menarik ketika bertemu seseorang yang baru saja dikenal adalah cerita tentang dirinya. Dan hal yang membuatku merasa sangat canggung adalah ketika orang yang Aku ajak bicara itu bisa membaca pikiranku. Entah kenapa, tapi jika Aku diberi kesempatan untuk bercakap-cakap dengannya, Aku pasti merasa senang berhadapan dengannya. Bahwa ada seseorang yang diberi kemampuan istimewa seperti itu.

Gustam, temanku kah kau itu?

0 komentar