JURNAL #75_ PILIH SEMBUH ATAU?


Kalau aku boleh pilih. Aku ingin cepat pulih. Tapi aku tak perlu menampakkan rasa sedih. Toh semua terjalin agar aku pandai berterima kasih.

Aku tidak menyalahkan siapa-siapa. Dalam kehidupanku, aku lah seluruhnya yang bertanggung jawab. Aku berbuat seperti ini maka aku akan mendapatkan hasilnya.

Tempo lalu aku sedang berusaha mengejar waktu. Maklum, waktu itu jam masuk kuliahku sangat pagi. Aku menaiki anak tangga. Dari anak tangga yang pertama lalu kedua, kedua lalu ketiga, dan seterusnya. Biasanya jika aku tidak terburu-buru aku sering sekali menghitung jumlah anak tangga itu sambil bersenandung.

Namun kini aku berpacu dengan waktu sehingga masalah menghitung anak tangga saja kuabaikan. Sebenarnya, lebih tepatnya tidak penting sih bagi kebanyakan orang. Tapi, aku menikmatinya. Apakah salah?

Baru setengah menaiki anak tangganya, aku hampir saja terjatuh karena pendaratan kakiku yang tidak sempurna dalam menapakkan kaki. Lalu aku kembali melanjutkannya dengan santai, lalu aku terjatuh lagi. Kini benar-benar terjatuh. Namun, untungnya tanganku masih berpegagan pada handrails.

Sayangnya, aku tertangkap basah oleh dua orang pemuda di belakangku yang mengetahui diriku terjelungup dalam anak tangga. Untungnya, mereka masih berada di lantai dasar dan belum sempat menaiki anak tangga yang pertama. Untungnya juga aku tidak sempat mencium anak tangga itu.

Kedua pemuda tadi hanya berbisik-bisik. Mungkin sedang menerka, apakah sakit ya? Tentu aku hanya bisa tersenyum getir. Bahkan kalau bisa mereka nggak usah mendekat. Aku malah sungkan kalau-kalau mereka menolongku. "Aku nggak papa kok Mas. Biar aku sendiri saja. Aku sudah terbiasa sendiri. Jangan memedulikanku." Akhirnya aku kembali menuju kelas dengan langkah tegap tanpa mengingat kejadian tadi.

Tapi, beberapa waktu kemudian. Naas, aku kembali terjatuh lagi. Kini lebih miris. Aku terjatuh saat menuruni anak tangga. Hidup itu memang seimbang ya. Kita yang berada di atas memang sengaja dijatuhkan untuk diuji seberapa kuat mental kita. Apalagi kita yang masih berada di bawah, lebih diuji lagi kesabarannya.

Ah, kali ini aku sedikit memandang getir. Kenapa juga, harus aku yang jatuh pas naik tangga dan juga pas turun tangga. Kan kayak anak baru belajar berjalan saja? Gumamku.

Waktu itu, aku sedang berusaha mengejar waktu juga. Maklum dengan kondisi yang kacau balau sehabis menuntaskan tugas secepat mungkin aku menuruni anak tangga. Sayangnya kali ini tidak ada handrailnya. Malang benar kali ini.

Aku tidak menyangka bahwa ternyata aku belum menapakkan kaki dengan sempurna di anak tangga yang akan kuturuni itu. Alhasil, tubuh ini limbung menuju lantai dasar. Untungnya aku tidak terlalu banyak menggulung-gulungkan tubuhku di beberapa anak tangga tersebut.

Aku pun tertangkap basah oleh seorang laki-laki yang tengah duduk di lantai dasar dan juga seorang perempuan yang sedang asyik mengerjakan tugas di depan laptopnya. Refleks, mereka memandangku.

Beberapa detik kemudian aku kembali bangkit, namun sadar tak bisa bangkit aku pun memaksa kedua kakiku untuk tetap berdiri lalu menghampiri mereka. Namun, sebelumnya mereka menyergahku dengan berkata "sakit mba?" Aku pun hanya tersenyum menahan perih.

Aku pun langsung duduk di samping mereka. Laki-laki tadi tidak lama kemudian pergi meninggalkan kami. Lalu tinggal lah aku seorang bersama perempuan muda di sampingku.

Gimana mbak? Masih sakit? Tanyanya. 
Aku diam. 
Coba di regangkan saja mbak. 
Aku diam. 
Perempuan itu kembali melanjutkan tugasnya.


Beberapa detik kemudian, perutku terasa panas lalu menjalar ke seluruh tubuhku. Hingga puncaknya kepalaku yang diserang. Aku menekuk kedua kakiku yang sakit tadi lalu menenggelamkan kepalaku di dalamnya. Tubuhku mendadak dingin. Aku kemudian mengambil air putih di dalam tasku lalu menenggaknya sambil berharap semoga cepat berakhir.

Beberapa detik kemudian, tubuhku malah panas dingin. Lalu semakin menjadi-jadi. Sedangkan perempuan tadi tidak tahu bahwa otakku sangat remuk redam. Akhirnya aku membaringkan punggungku di lantai. Barulah perempuan tadi mendekat lagi seraya berkata Mbak, gimana sekarang keadaannya?

Aku pun diam. 
Mbak. Kok tiduran di sini? Kakinya masih pegel? 
Aku malas menjawab. Dia malah bertanya terus. 
Mbak? Tanyanya lagi. 
Pusing mbak kepalaku. 
Loh, bukannya kakinya yang sakit  kok malah sampai otak? 
Aku diam. 

Mbak, tak antar ke poli klinik saja po?

Aku diam. Badanku semakin menjadi-jadi. Tubuhku semakin kaku dan dingin. Hampir seperti orang mati waktu itu. Seolah-olah aku sedang melewati sakaratul maut. Tapi aku bahkan tidak berkeberatan jika aku mati waktu itu. Karena waktu itu pas malam jumat.

Mbak? 
Aku masih bergeming. Seketika aku teringat orang-orang yang kukasihi. Dan aku lupa, apakah waktu itu aku sempat mengucap tahlil? Entahlah. Yang jelas, aku pernah mengingat dalam sebuah kitab bahwa ketika kita hendak mati maka bisa jadi kita akan mengingat orang-orang yang pernah bernaung maupun membekas dalam hidup kita.


Mbak? Tak antar ke poli yuk? 
Aku masih diam. 
Nggak usah mbak. Nanti sembuh sendiri. 
Mbak, tadi naik apa? 
Ah, aku gemas dengan mbak ini tanya terus. Mungkin ini salah satu bentuk agar aku tidak jatuh dalam tidur panjang ya? Hmm.
Motor mbak. Jawabku singkat. 
Lalu dia bertanya dan bertanya lagi. 
Dan aku menjawabnya lagi. Sesingkat mungkin.


Hingga akhirnya aku tersadar. Dalam dimensi waktu tersebut aku kembali siuman. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Tapi, sehari kemudian badanku terasa remuk redam. Seolah-olah membalas apa yang telah kuperbuat di masa-masa kelam.


#masihadaorangyang
#mausedikitberempati
#hampirsaja... 


0 komentar