JURNAL #2_ BELAJAR BUKAN PERKARA PENTING GA PENTING

Takut. Bukan takut mungkin, sebetulnya kata MALAS yang lebih tepat untuk mewakilinya. Di sini saya akan membahas betapa Saya dulu sangatlah malas untuk berkendara motor.  Bukan karena tidak bisa dan bukan karena takut. Awalnya saya menganggap enteng karena belajar berkendara motor itu tidaklah penting. Sebenarnya untuk membeberkan cerita ini sangat membutuhkan keberanian yang cukup besar. Meskipun begitu, Saya akan tetap membagikannya kepada Anda, karena kebetulan sekali ada seseorang yang menganggap belajar berkendara motor itu tidaklah penting. Topik bahasan ini tidak sepenuhnya tentang motor, tetapi sangatlah memungkinkan untuk dikaitkan dengan makna “belajar” yang sesungguhnya. Entah dalam pendidikan maupun kehidupan sehari-hari.
Tidak terpikirkan sedetik pun untuk belajar berkendara motor. Boro boro buat belajar, megang saja sudah malas..hhe. Dulu saya berpikir bahwa sekarang sudah ada transportasi bis dan saya sendiri sudah bisa berkendara sepeda, untuk apa berkendara motor. Ternyata maindset saya ini benar benar salah kaprah.
Kita belajar itu bukan untuk mengharap apa yang penting dan apa yang tidak penting untuk kita. Pengalaman saya sewaktu di STM dulu juga sama. Untuk apa susah susah belajar Integral, Fisika, Kimia, maupun Sejarah. Dasar matematika saja sudah cukup untuk kita, kenapa harus ditambah perihal yang lebih memusingkan kepala? Selalu saja seperti itu, terus menerus mengeluh. Tetapi ternyata memang benar. Janganlah kita menganggap diri kita ini terlalu hebat hanya karena bisa penjumlahan dan pengurangan. Karena sejatinya proses belajar itu akan terus mengalir tanpa henti. Meskipun itu tidak berguna untuk sekarang, tetapi pasti akan berguna untuk hari esok.
Kembali ke masalah motor. Setahun setelah kelulusan STM saya dihadapkan pada sebuah naskah yang bertuliskan “Selamat Anda Terdaftar Sebagai Mahasiswa UIN SUNAN KALIJAGA Jurusan Ilmu Perpustakaan”. Luar biasa shock moment nya waktu itu. Betapa Saya harus memutar balikkan kepala Saya sampai ke titik nol. Alhamdulillah Saya keterima, tetapi apa iya Saya harus bersepeda setiap hari dengan jarak ± 15 KM perjalaman? Atau harus naik bis meski harus gonta ganti jalur bis agar sampai tujuan. Dan waktu itupun bis sudah berhenti beroperasi jam 17.00 WIB.
Sebelum resmi memulai OSPEK tepatnya seminggu sebelumnya, Saya meminta Ayah untuk mengajari berkendara motor. Tekanan batin terlalu menimpa Saya akibat terlalu memikirkan bagaimana nantinya jika Saya tidak bisa memberhentikan motor? Sepanjang Saya belajar dan sepanjang itulah pertanyaan mulai bertebaran dan terus menerus menghantui mimpi Saya. Yang awalnya kita TERPAKSA, seiring berjalannya waktu kita akan TERBIASA.
Sembari berangkat dan pulang kuliah, Saya masih terus menerus belajar untuk mengasah kemampuan Saya. Tidak hanya perkara motor. Hal ini bisa menjadikan faedah untuk perkara lain juga. Agar tidak menganggap remeh makna ‘belajar” yang sesungguhnya.
Sleman, 12 Mei 2017
Di sebelah radio tua yang serak serak
(Jurnal #2_HR)

0 komentar