JURNAL #39_ PANGGILAN HATI (TOY STORY / TRUE STORY ?)

“Da, boleh minta bantuan sebentar?”
“Hm, kenapa?”
“Minta fotoin bentar aja.”

Aku pun menyaguhinya. Waktu itu Aku sedang duduk manis membaca buku di perpustakaan.
Akhirnya Aku diberi seperangkat kamera oleh mereka. Aku pun memulai aksiku layaknya si fotografer. <hanya amatiran>.

“Satu, Dua, Tiga”
Cekrek. Hasilnya pun keluar.

“Wah, yang paling belakang nggak kelihatan itu.” Aku pun berseru kepada salah satu anggota mereka. <Waktu itu dia benar-benar yang menjadi pusat perhatianku.>
“Ya udah diulang lagi.” Sahut yang lain, namun orang yang kumaksud tidak bergeming. Bahkan Aku pun tak tahu siapa nama orang itu.

Setelah melakukan pengulangan berkali-kali di dalam perpustakaan, kami beralih ke luar perpustakaan. Akhirnya proses pengambilan gambar pun selesai dan mereka puas. Lalu mereka melanjutkan kembali tugas mereka. <pulang> Aku pun demikian, melanjutkan kembali tugasku. <membaca atau tidur di perpustakaan ?>

Beberapa menit kemudian.
“Haaai…” kataku kepada mereka.
Ternyata Aku bertemu dengan mereka <lagi>.
“Kamu masih di perpustakaan?”
“Iya. La kamu masih ngapain?”
“Ga papa. Cuma mau edit foto yang tadi.”
“O, iya ya. Oke duduk sini aja, kita barengan kebetulan Aku sendirian.. Hahaha <Halah, bilang aja jomblo. Hhh / -_- >

Kebetulan sekali jumlah mereka ganjil. Sedangkan kursinya hanya empat, dua-dua saling berhadapan. Ketambah Aku pun jadinya genap. Aku pun sudah menyangka orang itu akan duduk di sampingku. Dan ternyata benar. Dia duduk di sampingku. Tapi, belum ada 10 detik, dia langsung menyeret kursinya ke arah anggota kelompoknya untuk berpindah. <ga betah kali, kau tadi kan bawel fotoinnya./-_- > Ternyata dia juga mau ikut nimbrung alias bantu kelompoknya.

Akhirnya, Aku mengamati gerak-gerik mereka sembari membaca buku <modus!>
Yeay! Aku melihatnya membuka mulut. Tapi, tidak sesuai ekspetasiku. Aku bahkan tidak menyangka kalau dia <maaf,> sedikit mengalami gangguan bicara. Akhirnya Aku bertanya kepada temanku itu. Apa benar dia punya keterbatasan? Dan ternyata benar. Dia tuna rungu. Pantas saja tadi sewaktu Aku teriak-teriak kepadanya, dia malah mengabaikanku. Sedangkan yang lain menyahutku.

Aku masih tidak percaya. Aku bahkan tidak pernah melihatnya didampingi oleh relawan di kampus. <Ya kan kamu beda kelas, kenal aja nggak. Dasar kuper!>
Oke. Aku melancarkan aksiku ini. Aku bertanya kepadanya.

“Nama kamu siapa?” Menggunakan bahasa isyarat </Untung aja, Aku ambil ekstra ini. Aku jadi ngerti dia ngomong apa./>
Tahu tidak, apa reaksinya? Dia bukannya menjawab nama malah balik bertanya. Kamu bisa bahasa isyarat? Sontak saja Aku kaget. Aku jawab saja iya. Lalu kami saling bercerita. Di kelasnya kebanyakan belum bisa bahasa isyarat. Ada sebenarnya satu orang, tapi dia jarang berbicara denganku. Semoga besok kita sekelas ya! Aamin, kataku.

Sembari kami berdialog menggunakan tangan, kedua temanku yang lain ini hanya menjadi penonton yang sedang melihat artisnya naik ke panggung </wqwq/> Akhirnya mereka pun beranjak dari perpustakaan.

Aku pun tak tahu kenapa mengambil ekstra itu. Awalnya senang saja. Belum begitu terasa manfaatnya. Pikirku, siapa tahu saja suatu saat nanti kepakai. Apalagi Aku ini <katanya> pustakawan. Pikirku juga, semisal ada pengunjung yang seperti dia lalu Aku tidak tahu harus menjawab apa, bukankah sangat mengecewakan? Atau misalnya saja Aku ini bukan pustakawan, tetapi bertemu seseorang di jalan yang juga seperti dia? Lalu, bukankah ada begitu banyak hal yang sebenarnya Aku belum tahu dan begitu bodoh? Dan untuk itu Aku harus lebih banyak belajar dan membaca?

Terima kasih. Sudah menyempatkan membaca.

NB : True story ditambah beberapa polesan sedikit agar lebih ciamik.

0 komentar